JAKARTA (Arrahmah.com) – Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutanto mengaku bahwa pihaknya kesulitan untuk mendeteksi gerakan-gerakan aksi ‘terorisme’ dan pemboman di Indonesia, karena pola kerja mereka kerap berpindah-pindah
“Saya kira tidak mudah untuk menangani teror begitu ya karena tidak semuanya bisa dibuka, cuma aparat di lapangan yang bisa dan perlu kerahasiaan yang tinggi tentunya tidak bisa dari Densus dari siapapun karena pengejaran bisa gagal gara-gara informasi yang bocor itu. apalagi sekarang mereka bergerak perorangan begitu ya, tidak mudah dideteksi tidak semudah beberapa waktu lalu, tentu perlu kerahasiaan tinggi,”ujar Sutanto di Gedung DPR, Jakarta, Senin (26/9/2011).
Sutanto mengatakan, evaluasi mendasar harus dilakukan, penanganan tidak hanya bisa dengan penindakan di lapangan, tetapi juga pentingnya penanganan secara simultan. Selain secara hukum tentu juga yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam berbagai hal.
“Kita sudah tahu sejak tahun 2000 ada Undang-undang anti teror, tetapi tetap tidak menyurutkan.Inilah pentingnya penanganan secara simultan, selain secara hukum tentu juga yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam berbagai hal,”jelasnya.
Kita harus waspada dalam setiap penjelasan yang mengindikasikan perlunya RUU Intelejen untuk membuat BIN ‘sukses’ dalam misinya. Saat disinggung mengenai gagalnya program jangka panjang intelijen, Sutanto mengklaim apa yang dikerjakannya selama ini sudah berhasil.
“Tidak seperti itu kan berbagai ahli sudah bisa mengungkapkan sebelum terjadinya ledakan, contoh yang dulu-dulu itu seperti Dr. Azahari yang sudah siap dengan 44 bom tapi Polri waktu itu dengan informasi intelijen yang diperoleh berhasil mengungkap sehingga tidak terjadi ledakan-ledakan tadi demikian juga di beberapa tempat seperti di Palembang, Sukoharjo, itukan kecepatan dari aparat, sebelum terjadi kan sudah cepat menangkap,” klaimnya.
Sejak peristiwa pemboman gereja di Solo, banyak analisa bergulir dibalik aksi bom tersebut. Beberapa mengungkapkan adanya pengalihan isu karena publikasi permasalahan koruptor yang terus menguat, adanya skenario untuk membidik kelompok ‘radikal’ di Solo, dan tentu saja skenario untuk ‘menciptakan keadaan darurat’ agar mempercepat pengesahan RUU Intelejen.
Terlebih peristiwa pemboman gereja di Solo seolah ‘menenggelamkan’ peristiwa kerusuhan Ambon yang hingga kini membuat ratusan Muslim memilih tetap tinggal di pengungsian. Padal pada faktanya, kondisi Ambon tidak sekondusif yang diberitakan media. Ada apa dibalik Bom Solo? Wallohua’lam. (tbn/arrahmah.com)