JAKARTA (Arrahmah.com) – Bincang halal (Bilal) memperkenalkan barang-barang yang haram yang ada disekitar kita yang sulit untuk dideteksi kecuali oleh ahlinya.
Ketua Halal Watch Rachmat O Halawa menjelaskan, kuas pengoles kuning telur atau margarin bisa berasal dari bulu imitasi, bulu kuda, atau bulu babi. ”Kuas bulu impor biasanya dari bulu telinga atau bulu tengkuk babi,” ungkap Rachmat, sambil memberikan tips untuk membedakan bulu imitasi dan bulu dari binatang dengan cara membakar dan mencium baunya.
”Ibu-ibu, waspadalah, jangan sampai merusak Idul Fitri dengan kue-kue kering yang ternyata diolesi kuning telur dengan menggunakan kuas dari bulu babi,” demikian peringatan Rachmat O Halawa kepada seratusan jamaah peserta Bincang halal di Masjid Al Furqon Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat, Ahad (21/7/2013).
Dia menegaskan, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh bagian babi adalah najis dan tidak boleh dimanfaatkan untuk konsumsi maupun pemakaian luar tubuh seperti kosmetika, perhiasan, sepatu, dan pakaian. ”Kalau tubuh kita tercemar produk yang mengandung babi, maka harus disucikan sebagaimana jika terkena babi secara langsung,” imbuh Rachmat.
Pemaparan pembicara membuat banyak ibu tercekat. Mereka tak menyangka, karena selama ini mengaku tidak peduli pada asal-usul bulu kuas pengoles kue.
Keterperanjatan kaum ibu tak berhenti di situ. Rachmat juga mengungkapkan betapa khamar dalam bentuk penyedap masakan dan bahan tambahan pangan sudah membudaya, misalnya penggunaan angciu dan rhum.
Angciu, jelas Rachmat, adalah arak merah yang biasa digunakan dalam tumisan, rebusan, maupun gorengan makanan kudapan. ”Bahkan cireng (aci goreng) pun saya temukan mengunakan angciu di sebuah kedai terkenal di Cibubur,” kata Rachmat yang tinggal di kawasan Cibubur, Jakarta Timur.
Sedang rhum, yang mengandung alkohol cukup tinggi sehingga baunya cukup tajam, biasa dipakai dalam pembuatan kue sus, brownies, dan lain-lain.
Kandungan bahan najis dan haram semacam itu, sulit bahkan ada yang hampir tidak mungkin dideteksi langsung pada produk akhir oleh konsumen. Kecuali melalui penelitian laboratorium dan penelusuran dokumen produksi. Karena itu, umat Islam wajib mensyukuri kehadiran dan peran Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun, lantaran LPPOM MUI tidak berwenang mewajibkan sertifikasi halal kepada produsen maupun pedagang di Indonesia, maka produk yang baru disertifikasi masihlah sangat minim.
”Sampai saat ini LPPOM MUI baru mensertifikasi sekitar 100 ribu produk dari jutaan produk yang beredar di negara kita,” kata Rachmat.
Ia mencontohkan, hasil sosialisasi Wisata Kuliner Halal yang diselenggarakan Halal Watch setiap bulan menunjukkan, rata-rata hanya 1 sampai 2 persen resto yang sudah bersertifikat halal di mal-mal besar di Ibukota. ”Yang lainnya tidak otomatis haram, tapi tidak dijamin kehalalannya,” tandas Rachmat.
Karena itu, ia mengajak peserta Bilal untuk menjadi agen gerakan penyadaran halal. Caranya, dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Islam, mengetahui titik-titik kritis produk sehari-hari, dan menjadi konsumen yang cerdas serta peduli halal.
Dalam sesi tanya-jawab yang seru, narasumber memberikan wawasan dan tips memilih produk halal. Ia juga memberikan kiat mensosialisasikan pentingnya aspek halal kepada pedagang atau produsen.
Bincang Halal diselenggarakan oleh LAZIS Dewan Dakwah bekerjasama dengan Halal Watch dan Milis Halal-Baik-Enak. Selain mensucikan harta dengan zakat dan infak, LAZIS Dewan Dakwah melalui Bilal ini juga mengajak masyarakat menjaga kesucian produk yang dikonsumsinya.
(azmuttaqin/nurbowo/arrahmah.com)