(Arrahmah.com) – Alhamdulillah, besok umat Islam kembali bersuka-cita menemui hari raya ‘Idul Adha, 10 Dzulhijjah bertepatan 26 Oktober 2012. Istimewanya, kali ini hari raya jatuh pada hari Jum’at, sehingga umat sekaligus mendapatkan dua hari raya dalam satu kesempatan.
Namun banyak diantara kaum muslim sendiri yang masih awam tentang bagaimana menyikapi keadaan antara bertemunya ibadah shalat sunnah hari raya ‘id dengan shalat Jum’at. Ada sebagian yang setelah melaksanakan shalat ‘id di pagi hari, lalu tetap melaksanakan shalat Jum’at di siang harinya. Lalu ada sebagiannya yang lebih memilih shalat dzuhur karena memiliki hujjah telah mengerjakan shalat ‘id. Namun ada juga yang malah menggugurkan dua kewajiban tersebut, tidak shalat Jum’at dan meniadakan juga shalat dzuhur. Bagaimana petunjuk Rasulullah dalam hal ini?
Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami berkata, “Saya menyaksikan Muawiyyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Pernahkah engkau mengalami dua hari ‘id berkumpul (yaitu shalat ‘id dengan shalat Jum’at) di masa Rasulullah?” Zaid bin Arqam berkata, “Pernah.” Muawiyyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab,
صَلىَّ النَّبِيَّ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ ثَمَّ قَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّي.
Artinya, “Nabi saw melakukan shalat dua hari raya, kemudian beliau memberi kemurahan pada shalat Jum’at seraya bersabda, “Barangsiapa hendak melakukan shalat (Jum’at) lakukanlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah bersabda,
“Telah berkumpul dua hari raya pada hari kalian ini, maka barangsiapa yang hendak meninggalkan Jum’at–itu sudah mencukupinya, namun kami menggabungkannya, insyaa Allah.” (HR. Ibnu Majah)
Dari Abu Ubaid, ia berkata, “Aku telah menyaksikan dua hari raya bersama Utsman bin Affan saat itu hari Jum’at, maka beliau shalat sebelum khutbah, lalu berkhutbah, lalu berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya ini adalah hari yang berkumpul padanya dua hari raya, maka barangsiapa yang ingin menunggu shalat Jum’at dari penduduk desa-desa maka dia boleh menunggunya, dan barangsiapa yang ingin kembali maka aku telah mengizinkannya.” (HR. Bukhari dan Imam Malik)
Ali bin Abi Thalib ra berkata mengenai berkumpulnya dua hari raya,
“ Barangsiapa yang ingin menggabungkan, maka dia boleh menggabungkan, dan barangsiapa yang ingin duduk (dirumahnya), maka dia boleh duduk.” (HR. Abdur Razaq dalam Al-Mushannaf dan Ibnu Abi Syaibah)
Dan hadits Atha’ bin Abi Rabah yang berkata,
“Telah shalat bersama kami–Ibnu Zubair—di hari raya pada hari Jum’at pada awal siang. Lalu kami datang untuk shalat Jum’at, namun beliau tidak keluar bersama kami, maka kamipun shalat sendiri, dan ketika itu Ibnu Abbas sedang berada di Thaif. Ketika kami datang, maka kami ceritakan hal itu kepada beliau, beliau lalu berkata, “Ia telah menepati sunnah.” (HR. Abu Dawud)
Dalam fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ (yang diketuai oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh dan beranggotakan tiga orang ulama’ kibar, yaitu Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadayan, Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dan Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, no: 21160 tanggal 8/11/1420 H, berkenaan dengan hari raya ‘id yang bertepatan dengan hari Jum’at, disimpulkan bahwa:
-
Bagi kaum mu’minin yang telah melaksanakan shalat ‘id, maka diberikan rukhshoh (keringanan) untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at, namun wajib menggantinya dengan shalat dzuhur.
-
Bagi kaum mu’minin yang tidak melaksanakan shalat ‘id, maka ia tetap berkewajiban untuk melaksanakan shalat Jum’at.
-
Tidak ada keringanan bagi panitia masjid yang biasa menyelenggarakan shalat Jum’at dan imam shalat Jum’at untuk meliburkan aktifitas ini. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada kaum mu’minin yang tetap berkeinginan untuk menunaikan shalat Jum’at meski telah mendapat keringanan untuk menggantinya dengan shalat dzuhur, dan terutama diperuntukkan bagi kaum mu’minin yang tidak melaksanakan shalat ‘id.
- Pada keadaan ini, maka kumandang adzan hanya diperdengarkan di masjid-masjid yang tetap melaksanakan penyelenggaraan shalat Jum’at.
Dalam satu poin diatas terdapat pula ketetapan bagi pihak panitia masjid yang biasa menyelenggarakan shalat Jum’at bahwa menurut pendapat jumhur ulama’, pihak masjid dan imam shalat Jum’at tidak memiliki rukhshoh (keringanan) untuk meliburkan diri dari pelaksanaan shalat Jum’at. Hal ini disebabkan bahwa masih adanya kewajiban shalat Jum’at bagi mereka yang tidak menunaikan shalat ‘id, serta masih adanya sebagian kaum muslim yang tetap ingin melaksanakan shalat Jum’at meskipun telah mengerjakan shalat ‘id. Oleh karena itu, apabila pihak masjid meniadakan hal ini, tentu saja akan menyulitkan umat yang membutuhkan fasilitas berjama’ah tersebut. Namun ketetapan ini juga bisa terlaksana apabila jumlah jama’ah shalat Jum’at telah memenuhi syaratnya, yaitu minimal duabelas orang laki-laki, sesuai yang terdapat dalam hadits berikut,
Dari Jabir ra, ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَخْتُبُ قَائِمًا فَجَاءَتْ عِيْرٌ مِنَ الشَامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلاَّ اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا.
Artinya, “Bahwasanya Rasulullah pernah berkhutbah sambil berdiri. Tiba-tiba datanglah kafilah dari negeri Syam, lalu orang-orang berhamburan menuju kafilah tersebut sehingga yang tinggal di dalam masjid hanya ada duabelas orang saja.” (HR. Muslim)
Sebagai peringatan, bahwa masih ada diantara umat muslim mukallaf yang terkena kewajiban shalat Jum’at, namun karena ketidak-fahaman bahkan karena memperturutkan hawa-nafsunya yang senantiasa dilanda futur, sehingga mereka melalaikan kewajiban tersebut. Kepada golongan yang dimaksud, Rasulullah pernah menyampaikan sebuah peringatan;
Diriwayatkan dari Al-Hakam bin Mina’ bahwasanya Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah ra memberitahukan bahwa keduanya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ عَلَى قُلُوْبِهِمْ, ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
Artinya, “Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jum’at itu menghentikan perbuatan mereka atau Allah Azza wa Jalla membutakan hati mereka, lalu mereka benar-benar menjadi orang yang lalai.” (HR. Muslim)
Sholat Jum’at pada hakikatnya memiliki banyak keutamaan, diantaranya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قَدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ الْإِمَامُ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَ فَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ.
Artinya, “Barangsiapa yang mandi, lalu mendatangi shalat Jum’at, lalu melakukan shalat semampunya, lalu ia diam (mendengarkan) hingga imam selesai dari khutbahnya, lalu melaksanakan shalat bersama imam, niscaya diampuni dosa-dosanya diantara hari itu dan hari Jum’at berikutnya ditambah tiga hari (setelahnya).” (HR. Muslim)
Dan dari Abu Burdah ra, dari ayahnya ra yang berkata,
سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ.
Artinya, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Waktu (terkabulnya do’a) itu ialah antara imam duduk (diantara dua khutbah) hingga dilaksanakannya shalat.” (HR. Muslim)
Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahu ‘alam bishowwab.
——————————————–
Oleh : Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman