YANGON (Arrahmah.com) – Biksu Buddha radikal di Myanmar menyerukan untuk memboikot perusahaan telekomunikasi Ooredoo karena berasal dari negara mayoritas Muslim, Qatar, meskipun perusahaan telekomunikasi tersebut mempromosikan ponsel dengan harga terjangkau, sebagaimana dilansir oleh Bangkok Post,Kamis (5/6/2014),
Ooredoo, bersama dengan perusahaan Telenor Norwegia, berupaya untuk mulai menjual kartu SIM murah tahun ini di Myanmar, di mana sebelumnya biaya ponsel di Myanmar selangit yang menyebabkan sembilan dari sepuluh warga Myanmar tidak bisa membeli ponsel.
Tapi perusahaan Ooredoo datang saat negara itu sedang bergumul dengan gerakan nasionalis Buddha yang sedang berkembang, yang dipelopori oleh biksu ekstremis. Para Biksu tersebut telah mendesak untuk melakukan boikot terhadap toko-toko Muslim dan mengusulkan suatu perangkat hukum yang sangat kontroversial untuk membatasi kebebasan beragama bagi Muslim di Myanmar.
“Kami ingin umat Buddha untuk membeli barang hanya dari toko-toko yang dimiliki oleh orang-orang dari agama kita [Buddha], dan keuntungan harus diperuntukkan bagi agama kita [Buddha],” kata biksu Parmuakha, yang mengorganisir kampanye melawan perusahaan milik Muslim.
Biksu itu mengatakan bahwa kelompoknya mengecam pemerintah Myanmar yang telah mengeluarkan lisensi untuk Ooredoo.
Perusahaan telekomunikasi itu berencana untuk menjual kartu SIM tidak lebih dari 1.500 kyats ($ 1,50) – sekitar seperseribu dari harga kartu SIM sebelumnya di Maynmar.
Penjualan itu akan dimulai di kota-kota besar Yangon, Mandalay dan Naypyidaw di kuartal ketiga tahun ini.
Juru bicara Ooredoo, Thiri Kyar Nyo, mengatakan: “Kami percaya bahwa setiap orang dilahirkan sama dan patut kita hormati.”
“Saya pikir setiap kecurigaan terhadap perusahaan kami akan segera menghilang begitu orang mulai melihat lebih jauh tentang merek-merk yang kami tawarkan dan efek positif yang kami berikan kepada rakyat Myanmar.”
Ooredoo, sebelumnya dikenal sebagai Qatar Telecom, sebelumnya mengatakan akan memberikan bantuan sebesar $ 15 Miliar ke Myanmar.
Akan tetapi biksu Parmuakha mengabaikan kekhawatiran bahwa aksi boikot tersebut bisa menghalangi investor asing.
“Hal yang lebih penting adalah melindungi identitas nasional kita dan agama kita,” katanya.
Pihak berwenang Myanmar mulai menjual SIM murah dengan harga kurang dari $ 2 melalui sistem undian tahun lalu. Namun skema tersebut relatif kecil dan kartu SIM biasa dijual seharga $ 200.
“Kami orang miskin hanya dapat membeli ponsel dengan harga murah. Kami tidak peduli di mana perusahaan itu berasal,” kata Tin Shwe ,64, yang memperoleh penghasilan sekitar $8 per hari dari pekerjaanya sebagai tukang becak, yang tidak cukup untuk membeli ponsel.
“Dengan harga begitu saya akan bisamemiliki satu sehingga saya bisa menelepon keluarga saya,” tambahnya.
Agama telah menjadi isu sangat sensitif di negara mayoritas Buddha Myanmar, di mana beberapa aksi kekerasan anti-Muslim yang bergejolak selama dua tahun terakhir telah menyebabkan sekitar 250 orang tewas.
Perusahaan-perusahaan internasional lainnya telah mendapati diri mereka terjebak dalam ketegangan agama di negara itu.
“Kami menentang segala bentuk diskriminasi ras, etnis, agama atau gender,” kata sebuah perusahaan raksasa Belanda dalam sebuah pernyataan.
Dua gelombang kekerasan komunal mematikan antara umat Buddha dan Muslim Rohingya di Rakhine terjadi pada tahun 2012, menyebabkan sekitar 140.000 orang terpaksa mpengungsi, terutama Muslim Rohingya.
Konflik sektarian berdarah yang sebagian besar menargetkan Muslim telah menyebar ke wilayah lain di Myanmar, bahkan biksu Buddha ikut mendalangi aksi kekerasan tersebut.
Parlemen Myanmar berupaya untuk mempertimbangkan beberapa usulan hukum terkait agama baru, termasuk peraturan yang membatasi orang-orang yang ingin pindah agama dan pernikahan antar agama.
(ameera/arrahmah.com)