WASHINGTON (Arrahmah.id) – Gedung Putih tidak memiliki “rencana teguran” dalam upaya untuk menghukum “Israel” jika tentaranya melancarkan invasi darat ke kota Rafah di Jalur Gaza selatan, tempat 1,4 juta warga Palestina berlindung setelah terpaksa mengungsi.
“Pasukan “Israel” dapat memasuki kota dan melukai warga sipil tanpa menghadapi konsekuensi dari Amerika,” Politico melaporkan, mengutip tiga pejabat AS yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya.
Berukuran sekitar 64 kilometer persegi, Rafah sangat penuh sesak, dengan ratusan ribu warga sipil mengungsi ke sana setelah tentara “Israel” menetapkan kota itu sebagai “zona aman” dalam kampanye genosida yang sedang berlangsung.
Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu berencana melancarkan serangan darat ke Rafah, seperti yang ia umumkan beberapa hari terakhir, di mana ia mengklaim “empat batalion terakhir” sayap bersenjata Hamas sudah bercokol di Rafah.
“Kami akan melakukannya sembari memberikan jalan yang aman bagi penduduk sipil sehingga mereka dapat pergi,” kata Netanyahu dalam sebuah wawancara dengan outlet AS ABC News pada Ahad (11/2/2024). Namun, Perdana Menteri tidak menjelaskan secara spesifik di mana sejumlah besar warga sipil yang terlantar dapat dievakuasi, dan hanya menyatakan bahwa Tel Aviv sedang “mengerjakan rencana terperinci.” Dia menuduh bahwa ada banyak wilayah Hamas di utara Rafah meskipun tentara “Israel” telah meratakan sebagian besar bangunan dan infrastruktur di wilayah tersebut.
Presiden AS Joe Biden dilaporkan mengatakan kepada Netanyahu pada Ahad (11/2) bahwa serangan terhadap Rafah tidak boleh dilancarkan “tanpa rencana yang kredibel dan dapat dilaksanakan untuk memastikan keselamatan dan dukungan bagi lebih dari satu juta orang yang berlindung di sana,” namun ia tidak menentang operasi tersebut.
Beberapa jam kemudian, bom menghujani Rafah, menewaskan lebih dari 100 warga sipil.
Selama beberapa pekan terakhir, media Barat dibanjiri dengan laporan bahwa Biden semakin “frustrasi” terhadap Netanyahu, bahkan menggunakan “istilah yang meremehkan” untuk merujuk pada perdana menteri “Israel” dan mengadakan diskusi tentang “hari setelah Netanyahu berkuasa”.
Namun demikian, pernyataan publik dari pejabat Gedung Putih memperjelas bahwa tidak akan ada perubahan dalam pendekatan hubungan AS-“Israel”.
Koordinator Komunikasi Strategis Dewan Keamanan Nasional AS yang baru, John Kirby, mengatakan kepada wartawan pada Senin (12/2) bahwa Gedung Putih akan “terus mendukung “Israel”, dan kami akan terus memastikan mereka memiliki alat dan kemampuan untuk melanjutkan operasi militer”.
Ketika ditanya pada Rabu (14/2) apa tanggapan AS terhadap invasi darat ke Rafah tanpa memperhatikan keselamatan warga sipil, Kirby menolak menjawab, dengan mengatakan, “Saya tidak akan terlibat dalam permainan hipotetis.” Kirby juga mendapat kecaman karena mengatakan militer “Israel” melakukan “pekerjaan yang lebih baik dalam melindungi warga sipil di Gaza dibandingkan militer AS”.
Selain itu, ketika seruan internasional semakin meningkat agar Washington mengurangi pengiriman senjata ke “Israel”, awal bulan ini, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Dekat, Barbara Leaf, menegaskan bahwa Washington tidak berencana melakukan hal seperti itu.
“Singkatnya, tidak – kami tidak mempertimbangkan hal itu,” kata Leaf kepada wartawan saat konferensi pers digital ketika ditanya apakah Gedung Putih sedang mempertimbangkan pengurangan laju pengiriman senjata ke “Israel”.
Pada Selasa (13/2/2024), Senat AS mengesahkan paket bantuan luar negeri senilai $95,3 miliar yang mencakup $14 miliar bantuan militer untuk “Israel”, lansir Associated Press.
Selain memicu pembunuhan massal terhadap hampir 30.000 warga Palestina di Gaza, AS juga memberikan perlindungan politik bagi “Israel”. Baru-baru ini, mereka mengancam akan meninjau kembali hubungannya dengan Afrika Selatan setelah Pretoria menuntut Tel Aviv ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida. (zarahamala/arrahmah.id)