JAKARTA (Arrahmah.com) – Sejumlah warga mengeluhkan mahalnya biaya rapid test yang berkisar antara sebesar Rp250.000 hingga Rp1.000.000/orang. Tidak sedikit warga menyebut harga jasa rapid test secara mandiri di rumah sakit (RS) mahal. Tarif yang dipatok pun dirasa memberatkan. Padahal hasil tes cepat sekarang menjadi syarat untuk bermacam-macam keperluan.
“Saya periksa di RS swasta. Bukan di RS milik daerah. Saya nggak nanya harga dulu, cuma pas bayar Rp950 ribu. Mahal sekali itu,” sebut Okto (27), salah satu warga Kebayoran, Jakarta Selatan, Ahad (21/6/2020), lansir Harian Terbit.
Menurutnya, RS seharusnya ikut membantu masyarakat dalam masa pandemi Covid-19 ini. Apalagi akan memasuki masa new normal. Di mana, banyak masyarakat termasuk yang memiliki keperluan ke luar kota dan harus menyertakan hasil rapid test.
Salah satu pekerja di perusahaan swasta ini, menyarankan agar dinas kesehatan untuk mengawasi, sekaligus mengecek secara langsung harga jasa rapid test di setiap RS, terutama RS swasta.
Ipank, warga Bogor juga mengeluhkan biaya rapid test. “Saya dikenakan biaya Rp280.000. Sebenarnya saya tidak mau karena saya sehat. Pembayuyaran biayanya potong gaji tiap bulan,” kata Ipank.
Birokratis
Salah satu Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida, menyebutkan, sadarkah pemerintah atas kebijakan ini menimbulkan keresahan di masyarakat. Menurutnya, ada tiga penyebab mengapa rapid test kerap dipersoalkan.
“Yang pertama, prosedurnya terlalu birokratis. Sehingga warga harus menunggu lama untuk proses test tersebut,” ungkapnya di Jakarta, Ahad (21/6/2020).
Selain itu, lanjutnya, biayanya cukup mahal. Khususnya untuk kalangan masyarakat.
Yang ketiga, kata Laode, masa berlakunya hanya satu kali perjalanan. “Sehingga warga yang kerap mengurus administrasi untuk perjalanan luar kota, harus direpotkan dengan jangka waktu rapid test yang berlaku hanya tiga hari,” terang dia.
Komersialisasi
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi ‘komersialisasi’ tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini.
“Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah,” kata Trubus di Jakarta, Ahad (21/6/2020), lansir Harian Terbit.
Untuk itu, menurut Trubus terdapat dua solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ‘komersialisasi’ tes virus corona ini.
Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes ini, baik rapid maupun swab test berdasarkan keputusan pemerintah tentang penetapan kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dan diperkuat dalam penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.
“Artinya, pemerintah bertanggung jawab dalam pembiayaan Covid, termasuk uji tes virus corona. Sehingga masyarakat yang mau tes tidak perlu bayar,” katanya.
Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah.
“Karena hingga sekarang tidak ada aturan khusus tentang ini. Pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau,” terang Trubus.
“Lihat sekarang rapid test itu sekitar Rp500.000 dan PCR sampai Rp2 juta. Itu sangat mahal. Ditambah lagi masa berlaku rapid test hanya tiga hari dan swab test hanya tujuh hari. Artinya tes menjadi kewajiban untuk kondisi tertentu,” lanjutnya.
Di Jakarta, harga tes virus corona bervariasi. Untuk rapid test berkisar dari Rp300.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test berkisar dari Rp1,5 juta hingga Rp5 juta, tergantung dari seberapa lengkap pengecekan yang ingin diperiksa.
(ameera/arrahmah.com)