(Arrahmah.com) – “Orang-orang beriman berperang di Jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di Jalan Thogut. Sebab itu perangilah kawan-kawan Syetan itu, karena sesungguhnya tipu daya Syetan itu lemah” (TQs An-Nisa [4] : 76)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi [orang] dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,” (TQs Al-Anfal [8]: 36)
Demikian Allah berfirman tentang upaya orang-orang kafir dalam memerangi orang-orang beriman. Mereka membelanjakan harta mereka untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Orang-orang kafir menjajah negeri-negeri kaum Muslimin untuk menghalangi upaya penegakkan hukum Allah di samping menggerus sumber daya alamnya.
Dunia telah menyaksikan kerugian besar pada jiwa dan materi yang dialami oleh AS dan sekutunya karena menjajah negeri-negeri kaum Muslimin. AS telah lelah dengan perang yang ia pimpin di Afghanistan, terbukti dengan rencana penarikan mundur seluruh pasukan AS-NATO dari tanah Afghan pada akahir tahun ini, dan AS tengah berada di ambang kebangkrutan akibat tindakan-tindakannya sendiri. Janji Allah adalah benar, mereka [orang-orang kafir] akan dikalahkan!
Berikut ini adalah terjemahan analisa singkat dari Mujahidin Imarah Islam Afghanistan (IIA) atau Taliban yang dipublikasikan Shahamat terkait biaya perang yang dihabiskan penjajah AS di dua negeri kaum Muslimin, Afghanistan dan Irak.
****
Dalam sebuah paper yang dipublikasikan pada Maret 2013, telah diperkirakan bahwa bagi setiap tentara [Amerika] yang terluka di Afghanistan dan Irak, pemerintah AS diperkirakan harus membayar rata-rata USD 2 juta dalam jangka panjang. Lebih dari itu paper ini menyatakan bahwa AS telah secara resmi menghitung korban [tentara] di Afghanistan dan Irak sebanyak 866.181 pada bulan Maret 2013.
Paper ini telah dipublikasikan oleh Linda Bilmes di Harvard’s Kennedy School (berikut linknya: https://research.hks.harvard.edu/publications/workingpapers/citation.aspx?PubId=8956). Biaya yang diperkirakan mencakup ‘permintaan mendadak untuk menyediakan perawatan medis bagi [tentara] yang terluka, juga ditambah keharusan untuk menyediakan biaya medis seumur hidup dan kompensasi cacat bagi mereka yang sembuh dari lukanya.
Paper itu menyimpulkan bahwa tahun-tahun konflik telah membuat Amerika tetap terbebani dengan biaya yang mahal, meskipun penarikan mundur pasukan dari ‘panggung konflik’ ini. Biaya sangat besar yang dipergunakan untuk merawat orang-orang [tentara] yang terluka berarti militer AS akan sulit tarik-menarik di area-area pertahanan walaupun anggaran yang telah disusutkan.
Berapa jumlah korban sebenarnya?
Jumlah dalam pengamatan yang menarik ini bisa diusulkan sebagai fakta dari penemuan paper di atas. Pertama-tama perkiraan resmi terkait para tentara yang terluka ini merupakan hal yang mengejutkan. Dari sekitar jutaan yang terluka, ini merupakan penghinaan atas klaim-klaim AS terkait para korban mereka di Afghanistan dan Irak.
Di dunia yang penuh propaganda perang ini, AS telah berhati-hati untuk menyembunyikan biaya perang mereka yang sebenarnya baik di Irak maupun di Afghanistan. Amerika dan NATO biasanya membantah korban-korban dalam pertempuran mereka dengan Mujahidin. Jika kita percaya pada klaim-klaim Pentagon dan NATO, maka kita akan dibuat percaya bahwa AS hanya memiliki korban [tentara] yang terluka tidak lebih dari 25.000-50.000 orang di kedua ‘panggung’ militer [Afghanistan dan Irak].
Perlu dicatat dalam pikiran bahwa 866.181 yang terluka itu tidak termasuk para kontraktor swasta atau para korban luka dari negara-negara ISAF lainnya. Jika kita gabungkan para korban dari para kontraktor swasta dan para anggota ISAF, jumlahnya bisa meningkat sangat signifikan.
Dalam sebuah laporan Dinas Pengamatan Kongres yang dipublikasikan pada pertengahan 2013, dinyatakan bahwa ada sekitar 108.000 kontraktor swasta di Afghanistan berbanding dengan kehadiran 65.700 tentara AS. Sedangkan perbandingan kontraktor dengan tentara cenderung berubah-ubah. Ini merupakan perbandingan 1:6 kontraktor swasta untuk setiap tentara AS di Afghanistan. Sedangkan perbandingan para kontraktor dengan tentara cenderung berubah-ubah, Kita hanya bisa membayangkan para korban dari keberadaan para kontraktor yang tidak seimbang dan implikasinya bagi anggaran pertahanan AS.
Diakui bahwa tidak semua kontraktor terlibat dalam sektor keamanan tetapi poin ini tetap menunjukkan bahwa para korban AS dari perang ini jauh melebihi para korban yang biasanya diakui secara resmi oleh militer.
Yang kedua, kita mungkin beranggapan bahwa biaya ekonomis dalam perang ini adalah korelasi untuk jumlah para korban militer dan non-militer dalam perang ini. Tidak hanya AS harus membayar biaya medis para korban militer, mereka juga membayar kompensasi kepada para keluarga tentara yang mati.
Selain itu, mereka juga perlu untuk memenuhi kebutuhan para kontraktor swasta, yang demikian itu secara tidak langsung (mungkin melalui perusahaan asuransi swasta) kepada para kontraktor keamanan swasta, para kontraktor swasta yang terluka juga biaya transportasi para kontraktor yang keluar dari teater perang ini ke negara-negara lainnya di dunia.
Sebagian negara-negara ISAF telah membawa para kaki-tangan Afghan bersama mereka ke negara-negara Barat. Hal ini mencakup biaya perjalanan bagi orang-orang ini dan keluarga mereka disamping biaya transmigrasi. Biaya-biaya ini perlu dimasukkan oleh pemerintahan dari pemerintah ini (AS) baik hal itu dari anggaran pertahanan atau dari anggaran pemerintah keseluruhannya.
Harga mahal yang dibayar
Dari pengamatan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa AS telah membayar mahal untuk finansial dan manusia atas petualangan militernya baik di Afghanistan maupun di Irak.
Mengenang mood AS pada 2001 dan 2003, dunia telah dikejutkan oleh arogansi AS pada masa itu. Rasa superioritasnya, terlalu menganggap tinggi pada kemampuannya dan menganggap remeh pada kemampuan saingannya adalah jelas.
Pembenarannya atas agresi-agresinya yang tidak bisa dipertahankan dan sulit dimengerti. Para politisi AS menggambarkan dunia Muslim sebagai dunia yang penuh kebiadaban dan liar yang perlu diajari rasa hormat terhadap ‘kekuasaan dunia’. AS menjajah dua negara [Afghanistan dan Irak], menghancurkan hidup jutaan orang, dengan dalih untuk menangkap segelintir ‘para teroris yang dengki dan miskin’ dan untuk menetralisir sejumlah ‘senjata penghancur missal’.
Amerika dengan senang hati melupakan bahwa ia bersama segelintir kelompok negara terpilih mengontrol lebih dari 90% senjata massal di dunia ini. Jika penjajahan atas para pemilik ‘yang lain’ dari senjata massal ini dibenarkan karena mereka negara-negara ‘yang tidak bertanggung jawab’ maka tentunya tidak ada bangsa yang lebih tidak bertanggung jawab dan lebih tidak berperasaan dalam mengabaikan norma-norma internasional karena AS berada di garis start di awal milenium baru ini.
Meskipun kelemahan atas pembenaran ini, atau mungkin karenanya, hal ini sangatlah jelas bahwa Amerika tidak bertindak atas dasar alasan-alasan tersebut. Alasan sebenarnya atas tindakan-tindakan Amerika adalah didorong atas dasar rencana yang diperhitungkan.
Amerika memasuki dunia Muslim dengan tujuan untuk mengubah peta geo-strategi. Berdasarkan para cendekiawan politik Washington, Amerika harus merespon serangan September 2001 dengan membawa ‘peradaban’ ke dunia Muslim.
Amerika akan melemparkan pukulan tersebut kepada umat Islam bahwa Amerika akan menyaingi penjajajahan bangsa Mongol terhadap tanah Islam. Terlebih lagi tidak seperti bangsa Mongol, Amerika tidak berintegrasi ke dalam masyarakat Muslim tetapi malah membaurkan umat Muslim ke dalam ‘peradaban’ Barat.
Lagipula ‘kehebatan’ skema-skema penjajahan ini juga untuk memperkuat strategi keberadaan AS di Timur Tengah dan Asia Tengah terutama sebagai lawan Cina. Amerika juga mendapatkan basis yang lebih berharga di Afghanistan, Irak dan tempat lainnya. Selain intervensi militer AS akan memperkuat ‘mantan sekutunya’, posisi ‘Israel’ di Timur Tengah. Dan kemudian tentu saja di sana ada akses ke sumber-sumber daya alam Timur Tengah dan Asia Tengah.
Ini adalah perhitungan di balik pergerakan Amerika. Bagaimanapun hasilnya jauh dari apa yang diniatkan. Amerika menderita kerugian dalam hal manusia yang sangat besar di kedua konflik tersebut [Afghanistan dan Irak].
Beban keuangan pada perang ini sedemikian besar serhingga ekonomi Amerika digilas untuk berhenti dan akhirnya memicu Krisis Keuangan Global.
Secara politik Amerika kehilangan seluruh kredibilitasnya sebagai negara aktor yang bertanggung jawab. Secara militer Amerika mengalami kewalahan dan sangat membutuhkan konsentrasi yang radikal. Amerika juga telah begitu lelah oleh konflik panjang ini sehingga Amerika tidak lagi memiliki selera untuk segala bentuk konfrontasi. Sikap pasifnya di semenanjuang Korea, reaksi hangat-hangat kukunya terhadap serangan kimia di Suriah, degradasinya oleh politisi-politisi ‘Israel’ selama perundingan damai Palestina-‘Israel’, dan baru-baru ini ketidakmampuannya untuk merespon secara logis dan tegas terhadap krisis Ukrainia adalah semua contoh atas sikap pasif Amerika dan keterbatasan-keterbatasan baru atas kekuasaannya.
Sementara bagi kebanyakan kita terkait ditemukannya kepasifan Amerika yang baru dan agresi-agresinya di dekade lalu mungkin nampak tidak terkait, sebenarnya yang belakangan ini telah memiliki dampak yang luar biasa pada pendahulunya. Biaya militer dan keuangan dalam konflik ini telah meyakinkan Amerika bahwa ia harus lebih teliti untuk memilih pertarungannya. Ia juga telah belajar bahwa ia harus fokus pada kepentingan-kepentingan strategisnya yang vital seperti Pasifik dan Eropa daripada bergegas pergi ke medan yang jauh dan berperang untuk alasan yang lain.
Kita hanya bisa berharap bahwa pelajaran-pelajaran ini akan diterapkan dalam jangka panjang daripada hanya sebagai langkah-langkah sementara. Amerika akan jauh lebih baik jika melepaskan perannya sebagai hegemoni global, fokus pada kepentingan-kepentingan vitalnya, menghormati keberagaman global dan kepentingan-kepentingan yang sah di dalam masyarakat yang berbeda, dan berinteraksi dengan negara-negara yang jauh atas dasar saling menghormati dan saling menguntungkan.
Mimpi Amerika bertindak sebagai polisi dunia sekarang tidak lebih dari sekedar harapan yang menyedihkan. Ini saatnya bagi Amerika untuk mengabaikan rencana-rencananya dalam memaksakan nilai-nilainya terhadap orang lain dan sebaliknya merangkul keberagaman dan kemitraan dalam urusan-urusan global. (siraaj/arrahmah.com)