Agnès-Mariam de la Croix, atau Fadia Laham, adalah seorang biarawati Lebanon yang memimpin Biara Santo Yakobus di Qara, Damaskus, di bawah yurisdiksi Keuskupan Homs, Suriah. Selain menjalani kehidupan religius, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan politik. Namun, namanya lebih dikenal karena kedekatannya dengan rezim Suriah yang telah tumbang serta perannya dalam menyebarkan narasi yang mendukung pemerintah Suriah terhadap revolusi di negara tersebut.
Sikapnya yang kontroversial membuatnya mendapat julukan “Biarawati Assad” dari para penentang mantan Presiden Bashar al-Assad.
Latar Belakang dan Kehidupan Awal
Fadia Laham lahir di Beirut pada tahun 1952 dari ayah berdarah Palestina yang mengungsi dari Nazareth akibat Nakba 1948, dan ibu asal Lebanon.
Berasal dari keluarga berkecukupan, ia menempuh pendidikan di sekolah-sekolah biarawati Prancis. Setelah ayahnya meninggal ketika ia berusia 15 tahun, ia mulai mempertanyakan makna hidup dan merasa kecewa dengan kondisi sosial di negaranya.
Dalam pencariannya akan “kebenaran dan Tuhan”, ia merasa bahwa budaya Timur terlalu kuno dibandingkan budaya Barat. Hal ini mendorongnya untuk memberontak terhadap lingkungannya dan bergabung dengan gerakan hippies pada akhir tahun 1960-an.
Sejak tahun 1967, Beirut menjadi salah satu tujuan favorit bagi kaum hippies dari berbagai negara. Laham tertarik pada gaya hidup mereka yang bebas serta cara berpakaian mereka yang tidak konvensional.

Perjalanan Menuju Kehidupan Religius
Setahun setelah bergabung dengan gerakan tersebut, Laham mulai bepergian ke berbagai negara bersama komunitas hippies, mengunjungi Eropa, India, Pakistan, Iran, dan tempat-tempat lain. Selama perjalanannya, ia selalu membawa Injil, dan akhirnya perjalanan ini membawanya kembali kepada kehidupan religius.
Sekembalinya ke Lebanon, ia memutuskan untuk bergabung dengan Biara Karmel di Beirut pada tahun 1971. Pada tahun 1992, ia memulai proyek untuk menghidupkan kembali warisan spiritual Gereja Antiokhia serta memperkuat keberadaan komunitas Kristen di Levant dan Irak.
Untuk memperdalam pemahamannya tentang tradisi monastik kuno, ia pergi ke Prancis dan mempelajari bahasa Ibrani serta Suryani. Ia juga menjalin komunikasi dengan Vatikan guna memperoleh dukungan moral dan finansial dalam mewujudkan visinya.
Perjalanan Spiritualitas
Awalnya, Agnès-Mariam berencana mendirikan biara di wilayah utara Lebanon, tepatnya di lembah suci. Namun, di tengah gurun Suriah, ia menemukan reruntuhan biara kuno yang berasal dari abad ke-5 atau ke-6. Ia menganggap penemuan ini sebagai “tanda ilahi” untuk memulai misinya di sana.
Setelah mendapatkan izin dari uskup setempat, ia mulai melakukan restorasi biara tersebut pada tahun 1994 dengan tujuan untuk “melestarikan warisan spiritual dan identitas Kristen di kawasan itu”, sekaligus “melayani masyarakat setempat”. Ia juga mendirikan komunitas monastik yang terdiri dari biarawan dan biarawati dari sepuluh negara berbeda.

Meski komunitas ini mengklaim aktivitas mereka murni bersifat kemanusiaan, keterlibatan Agnès-Mariam dalam politik tetap menjadi perdebatan sengit. Ia kerap membela rezim Assad, termasuk dalam kasus serangan senjata kimia terhadap rakyat Suriah.
Selain itu, ia memimpin organisasi “Ibnu al-Insan”, yang bergerak dalam bidang kemanusiaan dan bantuan di Lebanon. Organisasi ini bernaung di bawah Keuskupan Homs, Hama, Yabroud, dan sekitarnya, yang dipimpin oleh Uskup Yohanna Abdo Arbash.
Agnès-Mariam juga diketahui memiliki hubungan dengan organisasi “Penyelamatan Kristen Timur” yang berbasis di Prancis. Investigasi oleh Mediapart mengungkap bahwa organisasi ini mendukung milisi yang bertempur demi Assad, sehingga menimbulkan kecurigaan terhadap tujuan sebenarnya dari aktivitas kemanusiaan yang mereka klaim.
Kedekatannya dengan Rezim Assad
Agnès-Mariam dikenal sebagai sosok yang menentang revolusi Suriah dengan sangat vokal. Namanya pertama kali mencuat ke publik setelah terjadinya pembantaian dengan senjata kimia di Ghouta Timur, pinggiran Damaskus, pada tahun 2013.

Dalam berbagai wawancara, ia meragukan keabsahan video yang menunjukkan korban serangan tersebut, yang dirilis oleh para aktivis dan oposisi. Ia bahkan membuat laporan setebal 50 halaman yang menyatakan bahwa video-video tersebut tidak konsisten. Laporannya ini kemudian digunakan oleh Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, sebagai dalih untuk membela rezim Assad.
Ia bersikeras bahwa video-video tersebut telah dimanipulasi dan jumlah korban dibesar-besarkan, bahkan menuduh bahwa pasukan Suriah-lah yang menjadi sasaran serangan kimia.
Namun, pernyataan Agnès-Mariam dibantah oleh banyak pihak, termasuk Human Rights Watch yang menegaskan bahwa tidak ada bukti manipulasi dalam video-video tersebut.
Pada akhir 2013, ia melakukan tur ke Amerika Serikat dan Eropa untuk menyebarluaskan narasi pemerintah Suriah mengenai perang. Perjalanannya diorganisir oleh sebuah kelompok yang berbasis di California yang diketahui mendukung Assad.

Di tahun yang sama, surat kabar Haaretz melaporkan bahwa Agnès-Mariam diam-diam mengunjungi “Israel” dan bertemu dengan pejabat keamanan untuk meminta dukungan bagi Assad.
Karena sikapnya ini, para kritikus menjulukinya sebagai “Biarawati Assad”. Namun, ia menolak sebutan tersebut dengan mengatakan, “Saya bukan Biarawati Assad. Helikopter Assad telah mengebom saya tiga kali.”
Kasus Kematian Jurnalis Prancis
Agnès-Mariam juga dituduh terlibat dalam pembunuhan jurnalis Prancis Gilles Jacquier pada tahun 2012. Ia membantu Jacquier memperoleh visa masuk ke Suriah berkat hubungannya dengan Ali Mamlouk, seorang pejabat keamanan senior rezim Assad.
Jacquier awalnya ingin meliput wilayah yang dikuasai oposisi, namun dipaksa untuk mengikuti perjalanan yang diatur oleh Agnès-Mariam. Ia akhirnya tewas akibat serangan mortir di wilayah yang dikuasai pemerintah.
Istri Jacquier menuduh Agnès-Mariam bekerja sama dengan Mamlouk untuk membunuh suaminya. Ia mengklaim bahwa sang biarawati telah memperingatkan Jacquier agar tidak menyimpang dari rute yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Sikap terhadap Pemerintahan Baru
Setelah kejatuhan rezim Assad pada 8 Desember 2024, Ibu Agnès mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Suriah mungkin akan beralih ke pemerintahan berbasis agama. Ia menilai situasi di negara itu masih penuh ketidakpastian, di mana pernyataan-pernyataan pemerintah yang berusaha menenangkan rakyat justru bertolak belakang dengan tindakan di lapangan yang memicu ketakutan dan kecemasan.
Ia juga mengkritik peristiwa di pesisir Suriah, menyebutnya sebagai pemberontakan yang berujung pada pembantaian terhadap warga sipil. Menurutnya, kelompok bersenjata asing menjadi dalang di balik tragedi tersebut.
Lebih lanjut, ia menyebut kekacauan ini bermula dari serangan kelompok yang masih terafiliasi dengan rezim sebelumnya terhadap warga sipil dan aparat keamanan, yang akhirnya menelan banyak korban jiwa.
Tak lama setelah itu, Ibu Agnès muncul dalam sebuah video dari dalam Pangkalan Hmeimim, tempat di mana banyak pendukung rezim Assad dari kalangan Alawi berlindung setelah insiden di pesisir. Dalam video itu, ia menyerukan agar mereka meminta perlindungan melalui intervensi internasional.
Namun, pernyataannya yang paling menuai kontroversi adalah seruannya agar Suriah dibagi dengan campur tangan Rusia dan “Israel”. Ia bahkan mengaku pernah berkata langsung kepada Vladimir Putin, Donald Trump, dan “Israel”:
“Cukup. Jika kalian ingin membagi Suriah, lakukanlah. Tapi berhentilah membunuh orang-orang tak bersalah.”
Akibat pernyataannya itu, pengacara Suriah Michel Shammas mendesak agar tuntutan hukum diajukan terhadapnya atas dugaan “memprovokasi pembagian Suriah dan mengajak intervensi ‘Israel’.” Ia juga meminta agar Ibu Agnès diusir dari negara itu. Sementara itu, seorang biarawan Suriah turut meminta Presiden Lebanon turun tangan, memperingatkan bahwa pernyataan Agnès bisa memicu perpecahan di kalangan rakyat Suriah.
Penghargaan dan Tanda Kehormatan
Terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya, Ibu Agnès telah menerima berbagai penghargaan, di antaranya:
- Dua kali dinominasikan untuk Nobel Perdamaian.
- Mendapat Ordre National du Mérite dari Prancis dengan gelar Ksatria.
- Menerima Penghargaan Perdamaian Femida di Rusia.
- Dianugerahi Salib Emas dari Ordo Ksatria Malta.
- Diberikan gelar Doktor Kehormatan dari Federasi Global Persaudaraan Bangsawan di Inggris.
(Samirmusa/arrahmah.id)