GAZA (Arrahmah.id) — Iran sudah lama banyak disebut sebagai sumber utama uang dan senjata kelompok perlawanan Palestina Hamas. Namun sejumlah pejabat militer dan intelijen Israel baru-baru ini menyimpulkan, sebagian besar senjata yang digunakan Hamas dalam serangan pada 7 Oktober 2023 dan perang di Jalur Gaza saat ini justru sumber dari militer Israel sendiri.
Dilansir New York Times (17/4/2024), selama bertahun-tahun, para analis menunjuk pada jalur penyelundupan bawah tanah untuk menjelaskan bagaimana Hamas tetap mempertahankan persenjataan lengkap meskipun ada blokade militer Israel di Jalur Gaza.
Namun menurut informasi intelijen baru-baru ini menunjukkan, Hamas sudah mampu membuat banyak roket dan persenjataan anti-tank dari ribuan amunisi yang gagal meledak yang ditembakan Israel ke Gaza. Hamas juga mempersenjatai para pasukan tempurnya dengan senjata yang dicuri dari pangkalan militer Israel.
Informasi intelijen yang dikumpulkan selama pertempuran berbulan-bulan mengungkapkan: sama seperti pemerintah Israel salah menilai niat Hamas sebelum tanggal 7 Oktober, mereka juga meremehkan kemampuannya untuk mendapatkan senjata.
Suatu hal yang jelas sekarang adalah berbagai senjata yang digunakan pasukan Israel untuk menegakkan blokade Gaza selama 17 tahun terakhir, kini digunakan untuk melawan mereka.
Bahan peledak milik militer Israel dan Amerika Serikat (AS) memungkinkan Hamas menghujani Israel dengan roket dan, untuk pertama kalinya, menyerang kota-kota Israel dari Gaza.
“Persenjataan yang tidak meledak adalah sumber utama bahan peledak bagi Hamas,” kata Michael Cardash, mantan wakil kepala Divisi Penjinak Bom Polisi Nasional Israel dan seorang konsultan polisi Israel kepada New York Times.
“Mereka membongkar bom-bom (yang ditembakkan dan gagal meledak) dari Israel, bom-bom artileri dari Israel, dan banyak dari bom-bom tersebut yang digunakan dan diolah kembali untuk menjadi bahan peledak dan roket mereka.”
Para pakar senjata mengatakan, sekitar 10 persen amunisi biasanya gagal meledak. Namun dalam kasus Israel, angkanya bisa lebih tinggi. Pasalnya, persenjataan Israel mencakup rudal-rudal dari era Vietnam, yang sudah lama dihentikan produksinya oleh AS dan kekuatan militer lainnya.
Tingkat kegagalan beberapa rudal itu bisa mencapai 15 persen, kata seorang perwira intelijen Israel, yang tidak ingin namanya disebutkan, kepada New York Times.
Berdasarkan perhitungan itu, pengeboman sporadis selama bertahun-tahun dan pengeboman baru-baru ini di Gaza telah “memenuhi” wilayah itu dengan ribuan ton persenjataan yang belum meledak dan menunggu untuk digunakan kembali.
Satu bom seberat 344 kg yang gagal meledak bisa menjadi ratusan rudal atau roket.
Para pejabat Israel telah mengetahui sebelum serangan pada Oktober lalu bahwa Hamas dapat memperoleh beberapa senjata buatan Israel. Namun jumlahnya telah mengejutkan para ahli senjata dan diplomat.
Pihak berwenang Israel juga tahu bahwa gudang senjata mereka rentan terhadap pencurian.
Sebuah laporan militer awal tahun lalu mencatat, ribuan peluru dan ratusan senjata serta granat telah dicuri dari pangkalan yang tidak dijaga dengan baik.
Beberapa senjata itu menuju Tepi Barat, dan yang lainnya menuju Gaza melalui Sinai. Namun laporan tersebut berfokus pada keamanan militer. Konsekuensinya dianggap hanya sebagai sebuah renungan (afterthought): “Kita sedang memberi bahan bakar kepada musuh kita dengan senjata kita sendiri,” demikian bunyi salah satu baris laporan tersebut.
Konsekuensinya menjadi jelas pada 7 Oktober. Beberapa jam setelah Hamas menerobos perbatasan, empat tentara Israel menemukan mayat seorang pria bersenjata Hamas yang terbunuh di luar pangkalan militer Re’im.
Aksara Ibrani terbaca pada granat di ikat pinggangnya, kata salah satu tentara, yang mengenali granat itu sebagai granat antipeluru milik Israel, sebuah model terbaru. Beberapa petempur Hamas lainnya menyerbu pangkalan itu, dan pejabat militer Israel mengatakan sejumlah senjata dijarah dan dibawa ke Gaza.
Beberapa mil dari situ, anggota tim forensik Israel menemukan salah satu dari 5.000 roket yang ditembakkan Hamas hari itu. Saat memeriksa roket tersebut, mereka mengetahui bahwa bahan peledak roket tersebut kemungkinan besar berasal dari rudal Israel yang tidak meledak yang ditembakkan ke Gaza pada perang sebelumnya.
Serangan pada 7 Oktober itu menunjukkan penggunaan aneka senjata rakitan yang dibuat Hamas. Ini termasuk drone serbu buatan Iran dan peluncur roket buatan Korea Utara, jenis senjata yang diketahui diselundupkan Hamas ke Gaza melalui terowongan. Tentu saja, Iran tetap menjadi sumber utama uang dan senjata Hamas.
Namun senjata lain, seperti bahan peledak anti-tank, hulu ledak RPG, granat termobarik, dan perangkat improvisasi, merupakan senjata-senjata Israel yang dirakit ulang. Hal itu berdasarkan sejumlah video Hamas dan sisa-sisa senjata yang ditemukan Israel.
Roket dan rudal membutuhkan bahan peledak dalam jumlah besar, yang menurut sejumlah pejabat militer merupakan bahan yang paling sulit untuk diselundupkan ke Gaza.
Namun Hamas menembakkan begitu banyak roket dan rudal pada 7 Oktober itu sehingga sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome, tidak dapat mengimbanginya. Roket-roket menghantam kota-kota besar dan pangkalan militer, memberikan perlindungan bagi anggota Hamas yang menyerbu ke Israel. Sebuah roket bahkan menghantam pangkalan militer yang diyakini merupakan bagian dari program rudal nuklir Israel.
Hamas dulunya mengandalkan bahan-bahan seperti pupuk dan gula bubuk untuk membuat roket. Namun sejak tahun 2007, Israel memberlakukan blokade ketat, membatasi impor barang-barang, termasuk peralatan elektronik dan komputer, yang dapat digunakan untuk membuat senjata.
Blokade itu dan penertiban terhadap terowongan yang dipakai untuk penyelundupan barang menuju dan keluar Gaza memaksa Hamas menjadi lebih kreatif.
Kemampuan manufakturnya sekarang cukup canggih untuk membuat hulu ledak bom yang beratnya mencapai 907 kg, untuk mendapatkan bahan peledak, dan menggunakannya kembali.
“Mereka memiliki industri militer di Gaza. Ada yang berada di atas permukaan tanah, ada yang di bawah tanah, dan mereka mampu memproduksi banyak barang yang mereka butuhkan,” kata Eyal Hulata, yang menjabat sebagai penasihat keamanan nasional Israel dan kepala Dewan Keamanan Nasional sebelum mengundurkan diri tahun lalu.
Seorang pejabat militer Barat mengatakan, sebagian besar bahan peledak yang digunakan Hamas dalam perangnya dengan Israel tampaknya dibuat dengan menggunakan amunisi yang tidak meledak yang diluncurkan Israel. Salah satu contohnya, kata pejabat itu, adalah jebakan berbahan peledak yang menewaskan 10 tentara Israel pada Desember lalu.
Sayap militer Hamas, Brigade Qassam, telah memamerkan kemampuan manufakturnya selama bertahun-tahun. Setelah perang dengan Israel tahun 2014, mereka membentuk tim teknik untuk mengumpulkan amunisi yang belum meledak seperti peluru howitzer dan bom MK-84 buatan AS.
Tim-tim itu bekerja sama dengan unit penjinak bom milik polisi, agar masyarakat dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat. Mereka juga membantu Hamas bersiap menghadapi perang berikutnya.
“Strategi kami bertujuan untuk memanfaatkan kembali benda-benda ini, mengubah krisis ini menjadi sebuah peluang,” kata seorang komandan Brigade Qassam kepada Al Jazeera tahun 2020.
Cabang media Qassam dalam beberapa tahun terakhir merilis video yang menunjukkan dengan tepat apa yang mereka lakukan: menggergaji hulu ledak, mengambil bahan peledak – biasanya berupa bubuk –, dan melelehkannya untuk digunakan kembali.
Tahun 2019, pasukan komando Qassam menemukan ratusan amunisi di dua kapal militer Inggris dari era Perang Dunia I yang tenggelam di lepas pantai Gaza satu abad sebelumnya. Penemuan itu, sesumbar Qassam, memungkinkan mereka membuat ratusan roket baru.
Pada awal perang saat ini, sebuah video Qassam menunjukkan para anggotanya merakit roket Yassin 105 di fasilitas manufaktur yang suram, tanpa sinar matahari.
“Cara paling esensial bagi Hamas untuk mendapatkan persenjataan adalah melalui produksi dalam negeri,” kata Ahmed Fouad Alkhatib, analis kebijakan Timur Tengah yang tumbuh besar di Gaza. “Itu hanya sebuah perubahan kimia dan Anda dapat membuat apapun yang Anda inginkan.”
Israel membatasi impor bahan-bahan konstruksi yang dapat digunakan untuk membuat roket dan senjata lainnya. Namun setiap babak baru pertempuran meninggalkan puing-puing di mana para militan dapat mengambil pipa, beton, dan material berharga lainnya, kata Alkhatib.
Hamas tidak bisa memproduksi semuanya. Beberapa barang lebih mudah dibeli dari pasar gelap dan diselundupkan ke Gaza. Sinai, wilayah gurun yang sebagian besar tidak berpenghuni antara Israel, Mesir, dan Jalur Gaza, masih menjadi pusat penyelundupan senjata. Senjata dari konflik di Libya, Eritrea, dan Afghanistan telah ditemukan di Sinai, menurut penilaian intelijen Israel.
Menurut dua pejabat intelijen Israel, setidaknya selusin terowongan kecil masih dibangun antara Gaza dan Mesir sebelum 7 Oktober. Seorang juru bicara pemerintah Mesir mengatakan, militernya telah melakukan tugasnya untuk menutup terowongan di sisi perbatasannya.
“Banyak senjata yang saat ini berada di Jalur Gaza adalah hasil penyelundupan dari dalam Israel,” kata juru bicara tersebut melalui email kepada New York Times.
Namun jalan-jalan di Gaza yang terkepung semakin menjadi sumber senjata.
Israel memperkirakan, mereka telah melakukan setidaknya 22.000 serangan ke Gaza sejak 7 Oktober. Itu berarti ada puluhan ribu amunisi telah dijatuhkan atau ditembakkan – dan ribuan lainnya gagal meledak.
“Artileri, granat tangan, amunisi lainnya – puluhan ribu persenjataan yang belum meledak akan tertinggal di sana setelah perang ini,” kata Charles Birch, kepala Dinas Pekerjaan Ranjau PBB di Gaza. Itu “seperti hadiah gratis untuk Hamas”. (hanoum/arrahmah.id)