DHAKA (Arrahmah.id) — Bangladesh diramal akan menyusul Sri Lanka. Krisis ekonomi parah bisa segera menyerang negara itu.
Sejumlah tanda, mengutip Al Jazeera dan Reuters, muncul. Mulai dari nilai tukar, cadangan devisa, hingga penurunan ekspor utama dan pemadaman bergilir.
Nilai tukar Taka jeblok terhadap dolar AS sejak Mei. Taka bahkan telah terdepresiasi menjadi 112 per 1 US$ saat ini.
Cadangan devisa dilaporkan berkurang drastis seiring tagihan impor yang meningkat. Pertama kalinya dalam dua tahun, cadangan devisa sudah turun di bawah US$ 40 miliar.
Pada tahun fiskal 2021 hingga 2022, Bangladesh juga mencetak rekor defisit perdagangan sebesar US$ 33 miliar. Melonjaknya harga barang dan energi karena perang di Ukraina menjadi penyebab.
Meski menjadi pengekspor tekstil terbesar kedua dunia, perlambatan dalam permintaan telah terjadi. Bahkan Grup garmen terkemuka Bangladesh, Plummy Fashions, tahun ini kehilangan hingga 20% dari pesanan barunya dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2021.
“Pengecer di Eropa dan AS melakukan pemesanan dengan lambat, bahkan tidak melakukan pemesanan. Meningkatnya inflasi di pasar ekspor berdampak parah pada kami,” kata Fazlul Hoque, CEO Plummy Fashions.
Padahal, industri tekstil menyumbang 10% dari PDB dan menciptakan 4,4 juta pekerjaan untuk Bangladesh. Sehingga penurunan tajam dalam pesanan menimbulkan risiko bagi seluruh perekonomian.
Situasi menjadi lebih buruk ketika pemerintah Bangladesh melakukan pemadaman listrik bergilir untuk menghemat bahan bakar. Ini berdampak negatif pada kapasitas operasi pabrik.
Masalah makin menjadi saat pemerintah Bangladesh mengumumkan bahwa harga eceran bensin naik 51,7%, harga solar naik 42,5% awal Agustus lalu. Ini merupakan rekor peningkatan yang pernah dicatat negara Asia Selatan ini.
Dalam beberapa pekan terakhir, banyak pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas 1.500 megawatt ditutup karena kekurangan bahan bakar. Beberapa daerah di Bangladesh tanpa listrik hingga 13 jam sehari.
Mengutip Reuters, pemerintah juga memutuskan untuk meliburkan sekolah dan membatasi jam kerja masyarakat. Tak hanya itu, pemerintah juga telah mengumumkan liburan mingguan bagi pabrik-pabrik.
Bangladesh pun kini mencari bantuan dana ke Dana Moneter International (IMF). Negeri itu meminta pinjaman sebesar US$4,5 miliar, manjadi negara ketiga yang melakukan ini di Asia Selatan, setelah Sri Lanka dan Pakistan.
Meski begitu, Perdana Menteri (PM) Bangladesh Sheikh Hasina menegaskan negaranya tidak akan menghadapi situasi seperti krisis ekonomi di Sri Lanka. Hasina mengatakan ekonomi Bangladesh tetap kuat meski terkena dampak Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
“Bangladesh selalu tepat waktu (dalam membayar) utang kami. Tingkat utang kami sangat rendah dalam konteks Sri Lanka,” kata Hasina, dikutip Senin (5/9/2022) dalam wawancara terbaru dengan media jaringan Reuters, ANI.
“Beberapa orang telah mengangkat masalah ini bahwa Bangladesh akan menjadi Sri Lanka, tetapi saya dapat memastikan bahwa itu tidak akan terjadi,” tambahnya. (hanoum/arrahmah.id)