Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Banjir di musim penghujan rasanya bukan peristiwa aneh lagi. Hampir setiap tahun bencana tersebut berulang dan tak menemukan titik terang dalam menyelesaikannya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat, 6.000 orang dari sejumlah daerah provinsi tersebut rumah, lahan, dan tempat usaha mereka terdampak banjir sejak beberapa pekan terkahir ini. Kepala BPBD Riau M. Edy Afrizal mengatakan, mereka yang mengungsi berasal dari Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 3.992 orang dan Kepulauan Meranti 2.240 orang, Kabupten Bengkalis 191 orang, dan Kota Dumai 44 orang. BPBD Riau telah melakukan evakuasi, mendistribusikan bantuan logistik, mendirikan dapur umum, dan posko pengungsian. (cnnindonesia.com, 13 Januari 2024)
Bencana serupa terjadi di Bojongasih, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, banjir merendam ribuan rumah warga. Disinyalir, peristiwa tersebut disebabkan sungai Citarum dan jebolnya tanggul anak Sungai Cikapundung. Pada Minggu 14 Januari 2024 sebagian rumah warga sudah tidak terendam dan mulai melakukan bersih-bersih, akan tetapi masih ada ribuan rumah warga di RW 7 dari total 14 Desa Dayeuhkolot yang masih terendam. Menurut Kepala Desa Dayeuhkolot Yayan Setiana, pasca banjir ini sangat dibutuhkan alat-alat kebersihan untuk membersihkan rumah warga dan fasilitas umum. (beritasatu.com, 14 Januari 2024)
Bencana banjir yang terjadi diawal tahun 2024, bukanlah peristiwa pertama. Justru hal ini berulang setiap tahunnya. Di mana, setiap musim hujan tiba maka banjir akan terjadi disejumlah daerah. Bahkan ditanah air ini ada kawasan-kawasan yang dijuluki kota langganan banjir, sebab memang setiap musim penghujan kota tersebut akan terdampak.
Meskipun terus berulang, seolah tak ada satupun penyelesaikan yang menuntaskan problem banjir ini. Pemerintah seperti mati kutu saat bencana banjir datang. Tak jarang solusi yang ditawarkan sebatas pada membantu warga yang terkena imbas dengan menyediakan lahan pengungsian sementara. Sedangkan pada penanganan masalah banjirnya itu sendiri, terkadang tidak diselesaikan hingga tuntas.
Jika diteliti lebih dalam, banjir yang berulang sangat erat kaitannya dengan pembangunan wilayah yang tidak direncanakan dengan matang dan bijaksana. Di Kota Bandung bagian utara misalnya, seharusnya dijadikan kawasan resapan justru sudah dipenuhi pemukiman. Pembangunan properti telah mengubah panorama alam di daerah atas sehingga menyebabkan penurunan kawasan hutan. Ditambah lagi massifnya pembangunan tempat wisata membuat alih fungsi kawasan yang mempunyai peran konservasi (usaha yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi alam). Sementara itu di Jambi, team Geografi Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, sebesar 73 persen hutan alam di Jambi sudah beralih fungsi. Sehingga menyebabkan terjadinya banjir.
Pesatnya pembangunan tersebut dilakukan tanpa mengindahkan daya dukung lingkungan. Hanya karena materi, pembangunan dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Inilah model pembangunan ala kapitalisme yang bertujuan mengejar keuntungan, justru abai terhadap dampak terhadap lingkungan dan tata kota secara keseluruhan. Akibatnya, rakyatlah yang menjadi korbannya. Jika banjir melanda, kerugian dirasakan mulai dari rumah yang terendam, masyarakat harus mengungsi, kekurangan makanan, hingga diserang penyakit seperti gatal-gatal dan diare.
Sangat berbeda dengan paradigma Islam terkait pembangunan. Aspek keuntungan bukan menjadi tujuan utama, akan tetapi pembangunan adalah kesesuaian dengan syariat Islam dan menciptakan kemaslahatan bagi rakyat. Pandangan pembangunan dalam Islam akan memperhatikan kelestarian lingkungan agar tetap terjaga dan kondisi alam seimbang. Kawasan hutan akan dijaga, sehingga pembangunan di area ini sangat dilarang demi menjaga keseimbangan alam.
Sekalipun pembangunan kawasan industri, pariwisata, dan pemukiman menguntungkan, akan tetapi jika wilayah tersebut akan berdampak buruk pada lingkungan, maka hal ini tidak akan dilakukan. Sebab, pembangunan dalam sistem Islam mengutamakan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat dan memudahkan kehidupan mereka. Peran utama dalam proses pembangunan berada ditangan penguasa. Oleh karena itu, penguasa sebagai raa’in (pengurus) rakyat, harus menjalankan kebijakan pembangunan yang bersandar pada aturan Allah Ta’ala bukan berdasarkan kemauan dan kepentingan para investor.
Negara akan turun langsung dalam memetakan wilayah mana saja yang boleh dilakukan pembangunan. Sehingga pembangunan tidak asal-asalan dan semrawut. Negara akan menentukan yang menjadi kawasan industri, perkantoran, lahan pertanian, sungai, hutan, dan sebagainya. Daerah bantaran sungai dilarang dibangun pemukiman, adapun warga yang ada di kawasan tersebut akan diberikan tempat tinggal yang layak di wilayah yang aman dan cocok dijadikan tempat tinggal.
Pembangunan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, jalan, pasar, masjid, dan sebaginya, akan diatur dengan memperhatikan lokasi pemukiman sehingga memudahkan warga untuk mengakses sarana publik tersebut. Terkait pertambangan dan industri, akan dijauhkan dari kawasan pemukiman. Sehingga tidak membahayakan warga.
Dengan demikianlah pandangan Islam yang berhubungan dengan konsep pembangunan. Segala sesuatunya disandarkan pada syariat dan tujuannya demi kemaslahatan masyarakat. Semua ini akan terwujud dengan menerapkan aturan Islam secara totalitas di segala aspek kehidupan. Bukan hanya tertata dengan baik dan teratur, pembangunan yang dilaksanakan pun akan menciptakan kenyamanan bagi seluruh warga.
Wallahua’lam bish shawab.