ANKARA (Arrahmah.com) – Turki mengutuk komentar Emmanuel Macron baru-baru ini yang menargetkan Ankara sebagai “tidak dapat diterima”, setelah presiden Prancis memperingatkan pemerintah Turki untuk tidak ikut campur dalam pemilihan presiden berikutnya di negaranya, lansir Al Jazeera, Jumat (26/3/2021).
Macron mengatakan kepada televisi Prancis minggu ini bahwa Turki “bermain-main dengan opini publik” dan menyebarkan “kebohongan” di Prancis melalui penggunaan media yang dikendalikan negara, terkait ketegangan diplomatik terbaru antara kedua negara.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy mengatakan pada Kamis (25/3) bahwa pernyataan “tidak adil dan tidak konsisten” Macron “tidak dapat diterima dan bertentangan dengan persahabatan dan aliansi” antara kedua negara.
Dia menambahkan bahwa klaim “berbahaya” Macron dengan “penilaian tertentu” bahwa Ankara akan ikut campur dalam pemilihan presiden Prancis tahun depan seolah mengasingkan komunitas asal asing yang tinggal di negara itu.
“Turki tidak memiliki agenda apa pun dalam politik domestik Prancis kecuali kemakmuran, perdamaian, dan harmoni komunitas Turki dengan sekitar 800.000 orang yang tinggal di negara itu,” ujar Aksoy.
Aksoy mengatakan bahwa Turki juga mengharapkan Paris untuk tidak menjadikan Ankara sebagai bagian dari politik dalam negeri Prancis terutama pada saat pemilihan.
“Menurut kami, pernyataan Macron sangat disayangkan dan tidak konsisten pada saat kami mengambil langkah untuk menggantikan ketegangan dalam hubungan kedua negara dengan ketenangan dan persahabatan,” tambah Aksoy.
Sementara itu, menanggapi pernyataan Macron, Omer Celik, juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) yang berkuasa, mengatakan kepada wartawan bahwa pendekatan seperti itu “membayangi hubungan bilateral”.
Hubungan antara Ankara dan Paris telah dibayangi oleh perselisihan mengenai konflik di Libya, Suriah, dan Nagorno-Karabakh, dan tuduhan Turki tentang Islamofobia di Prancis.
Komentar terbaru Macron memperpanjang perseteruannya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang telah membuat kedua pemimpin itu saling mencerca dalam konflik regional.
Perselisihan mereka mencapai titik terendah akhir tahun lalu ketika Erdogan mengatakan kepada Macron untuk menjalani “pemeriksaan mental” dan mendesak Prancis untuk “menyingkirkan” presidennya, karena ketegangan meningkat di antara para pemimpin atas undang-undang Prancis yang kontroversial.
Para kritikus mengatakan undang-undang tersebut, yang diadopsi setelah serangan kekerasan di negara itu, bersifat diskriminatif terhadap komunitas Muslim Prancis yang berjumlah hampir enam juta orang, terbesar di Eropa.
Beberapa bulan sebelumnya, Macron telah menyarankan bahwa rakyat Turki “pantas mendapatkan sesuatu yang lain” selain kebijakan Erdogan.
Turki mengumumkan pada bulan Januari bahwa Macron dan Erdogan telah bertukar surat pribadi, dalam apa yang disebut Ankara sebagai upaya untuk mengembalikan hubungan ke jalurnya. (Althaf/arrahmah.com)