JALUR GAZA (Arrahmah.com) – Seluruh umat islam di belahan dunia menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita. Berbagai harapan baru muncul, hiasan lentera lentera khas Ramadhan bertebaran dan Ungkapan menyambut Ramadhan berpindah pindah dari lisan sesama Muslim.
Di Gaza, suka cita semacam itu juga ada. Sejumlah warga yang masih “mampu”, menghiasi halaman rumahnya dengan lentera Ramadhan yang bercahaya dimalam hari dikala sedang mendapatkan jatah aliran listrik, namun lebih sering redup karena krisis listrik yang melanda wilayah ini.
Ungkapan menyambut Ramadhan pun terus terngiang, namun disertai dengan ungkapan belasungkawa atas gugurnya salah satu warga oleh kebrutalan Israel. Harapan harapan pun senantiasa digaungkan, dengan yang terbesarnya adalah “harapan menghirup kebebasan”.
Sangat di sayangkan, suka cita warga Gaza dalam menjalani Ramadhan harus terkontaminasi oleh derita dan duka.
Bagi saya, Abdillah Onim, yang sudah menjalani bulan Ramadhan selam 8 kali di Jalur Gaza, sebuah kenikmatan tersendiri karena berada di bumi para syuhada, brada di tengah-tengah warga Gaza dimana hidup mereka syarat akan jiwa semangat juang pada derajat yang sangat tinggi, disini lain sebagai warga asing berada di Jalur Gaza memang bukan sebuah keputusan mudah, langkah hidup membutuhkan komitmen serta istiqomah extra karena pasti melewati dan merasakan kondisi dimana belum anda dapati sebelumnya, salah contoh adalah terjadi peperangan pada bulan Ramadhan dimana saat itu anda berada di tengah-tengah mereka, bahasa kasarnya jika tidak tahan banting maka ujung-ujungnya lipat pakaian, tarik koper dan angkat kaki dari tanah Jalur Gaza detik itu juga karena tidak tahan akan kondisi mencekam, menakutkan.
Untuk sholat Tarawih di sini 11 rakaat yaitu 2x rakaat dikahir salam dan begitu seterusnya di akhiri dengan 3 rakaat sholat Witir yaitu 2x rakaat diakhiri dengan salam dan 1 rakaat dikahiri dengan salam.
Dari masing-masing Masjid di Jalur Gaza disaat akhir Sholat Witir ataupun pada Sholat Subuh, persoalan doa Qunut tidak perdebatan sama sekali, ada masjid yang pakai doa Qunut ada yang tidak.
Awal menjalan Shoum Ramadhan di Jalur Gaza yaitu pada tahun 2010, terasa berat karena waktu puasanya cukup lama yaitu 17 jam, setelah nya Alhamdulillah sudah terbiasa tidak ada kendala berarti.
Cobaan terberat pernah dialami sejak menetap di Jalur Gaza.
Subhanallah nasib sudah di tentukan oleh Allah SWT, pengiriman tim relawan pertama ke Jalur Gaza pada akhir tahun 2009, saat itu saya masih menjadi relawan di salah Lembaga ternama bergerak di bidang kegawat daruratan Medis menjadi relawan sejak tahun 2000 berakhir tahun 2012, kabar keberangkatan ku pertama kali ke Jalur Gaza membuat ibu saya jatuh sakit, akan tetapi Alm. Ayah saya justru mendukung misi yang akan kami jalani, setibanya di Gaza dan berada di Gaza selama 3 bulan di tahun 2009, kabar duka datang dari kampung Halaman saya yaitu Ayah tercinta saya wafat..tangisan dan air mata sendirian, Berat rasanya kondisi saat itu, hanya dua pilihan kembali ke tanah air atau melanjutkan misi di Gaza, akhirnya saya memilih melanjutkan misi di konstruksi, dan saya akan lebih beruntung jika mendoakan ayah tercintah saya dari tanah yang diberkahi tanah para syuhada tanah Palestina, jelang berapa bulan kemudia wafat paman saya.
Saat agresi Israel atas wilayah Gaza pada tahun 2014, ipar saya wafat terkena roket Israel dan 2 orang tetangga saya di Gaza wafat terkena roket Israel, dan sangat menyayat hati lagi, Gedung Daarul Qur’an Nusantara yang baru kami bangun kurang dari 1 tahun hancur diterpa roket “Israel”.
Bagi saya, cobaan menimpa saya tidak ada apa apanya dengan rintangan, cobaan, ujian yang dihadapi oleh rakyat Palestina.
Ditahun 2011, Allah SWT memberikan karunia kepada saya berupa jodoh dengan Muslimah Palestina asli Jalur Gaza, kini kami dikaruniai 2 orang anak.
Menantang adrenalin, ber Ramadhan di tengah gempuran jet tempur “Israel”
Agresi “Israel” atas wilayah Jalur Gaza pada akhir tahun 2014 bertepatan juga dengan bulan Puasa, mencekam dan kematian dikelopak mata ya seperti ini salah satu ungkapan yang pantas diucapkan kondisi saat itu.
Hari ke 3 bulan puasa, pada siang hari saya bersama anak istri, saat itu istri saya sedang hamil tua sedang berada di lantai 3 kediaman kami di Gedung Daarul Qur’an Nusantara cabang Gaza Palestina, tiba-tiba terdengar manusber pesawat dan BOOOOOMMMM hentakan dahsyat diserta guncangan menghancurkan atap lantai atas, kaca pecah dan pagar beton hancur, ternyata pesawat jet f16 melontarkan bom drum/barmil yang berfungsi merata tanahkan bangunan atau rumah, bom tersebut jatuhnya hanya kuran gdari 30 meter dari kediaman kami, alhamdulillah saya dan anak istri selamat dan detik itu juga kami keluar dari rumah serta menuju ke rumah mertua di kota Jabalia Jalur Gaza Utara.
Saat berbuka puasa dengan keluarga, baru meneguk segelas air putih dan belum sempat membasahi tenggorkan kering, tiba-tiba saja gempuran bom menghujani wilayah Gaza, hentakan suara sangat dahyat memecah pita pendegaran, memompa detakan jantung tak beraturan dan hanya kalimat mengingat Allah SWT yang keluar dari mulut, Allah SWT sebaik baik maha pelindung atas hambanya, kalimat pendek diucapkan oleh istri saya menguatkan kami yang sedang santap berbuka.
Belum lagi saat santap sahur, dentuman bom dan tembakan saling berbalasan antara pejuang Palestina dengan militer “Israel” ibarat petasan berantai seakan menemani santap sahur kami, kematian begitu dekat dan tawakal kepada Allah SWT sangat tinggi, karena kami yakin bahwa kematian datang atas ijin Allah SWT bukan kehendak roket-roket Yahudi.
Saat itu saya bertugas sebagai reporter di salah satu Tv swasta di Indonesia, tugas sangat berat penuh resiko antara cacat atau wafat karena saat terjadi peperangan maka roket roket Israel tidak hanya sasarannya kepada pejuang Palestina akan tetapi juga mencari dimana keberadaan wartawan, pihak Yahudi sangat alergi dengan keberadaan wartawan yang meliput dan menyiarkan kabar perang.
Tugas begitu berat karena hampir tidak mengenal yang namanya tidur atau istrahat, harus stand by sewaktu-waktu di telpon oleh news room untuk siap depan kamera dalam rangka live atau siaran langsung mengabarkan kabar terkini Jalur Gaza.
Sebagai wartawan harus paham kondisi di lapangan, rajin ikuti situasi yang ada karena jika lalai maka jet temput Israel menghampiri tempat anda berada dan melontarkan roket ke arah anda, maka akibatnya akal fatal.
Berapa kali saya di minta oleh tim pusat agar bisa live diruang terbuka, saya tolak mentah-mentah, sama saja bunuh diri, kataku.
Pernah beberapa detik setelah melakukan live, tiba-tiba pesawat tanpa awak menghampiri tempat live dan melonarkan satu roket peringatan, roket tersebut mengenai tangga dan tembok hancur berantakan, itu baru roket peringatan dari pesawat tanpa awak milik “Israel”, bagaimana jika mereka lontarkan roket dari pesawat jet f16, maka semua rumah dan daerah sekitar jadi rata dengan tanah tanpa puing puing.
Selain roket dari pesawat dan roket artileri yang dilontarkan dari moncong tank Merkava, ada yang namanya gas beracun, pagi itu kami sedang sahur sembari menunggu jam live, sedang asik makan Sahur tiba-tiba asap menghampiri kami menyusup dari sela-sela pintu dan jendela, asap hitam pekat..bau apa ini dan asap berasa dari mana? Tanyaku pada kru, ini asap beracun, tutup mulut mu dengan kain basah..sulit untuk bernafas dan menyebabkan muntah yang sangat.
Malam-malam mencekam kami lalui, awal perang memang terasa berat dan sangat menakutkan karena kondisi seperti ini bukan hal biasa bagi saya sebagai warga asing, akan tetapi beberapa hari kemudian ketakutan dalam diri berangsur tenang dan menjadi terbiasa akan kondisi perang, walau terbiasa akan tetapi nurani ini seakan tercabik-cabik disaat mendegar tangisan bocah-bocah dan para wanita ditambah lagi korban berjatuhan dan tewas anda saksikan dengan mata kepala anda, dentuman bom diiringi tangisan dan suara mobil ambulance meraung-raung sepanjang siang maupun malam.
Agresi Israel diakhir tahun 2014. Sholat Tarawih pun terpaksa tidak kami lakukan berjamaah di Masjid-masjid, kami laksanakan di rumah masing-masing, bahkan sholat Idul Fitri pun hanya di masjid dan musollah terdekat karena tidak sedikit dari Masjid-masjid yang digempur pesawat jet F16 disaat Muslim Gaza sedang sholat berjamaah di dalamnya, agresi 2014 menewaskan tak kurang dari 2,700 warga Gaza dan melukai lebih dari 11,000 orang.
Ramadhan tahun ini 1437 H -2016 tidak ada agresi “Israel”, semoga tidak ada lagi agresi. Alhamdulillah muslimin di Jalur Gaza menjalani ibadah Shoum Ramadhan dengan khusyu’ walau serba keterbatasan dan kekurangan dikarenakan masih diblokade oleh Israel.
Blokade Israel atas Gaza silih berganti bulan Ramadhan.
Di antara berbagai krisis yang melanda Jalur Gaza, blokade “Israel” adalah biangnya. Blokade yang terjadi sejak lebih 10 tahun silam oleh “Israel” ini benar benar berimbas kepada seluruh sektor kemanusiaan di Jalur Gaza.
Pintu perbatasan darat Rafah tetutup, pasokan makanan yang sulit, aliran listrik yang terbatas, pergerakan warga yang terhambat, dan berbagai penderitaan lain yang jika disusuri akan bermuara ke blokade.
Layaknya sebuah penjara, maka blokade telah menancapkan jeruji jeruji besinya di sekitar Jalur Gaza. Para petani Gaza di Perbatasan terpaksa menanam sayur dan buah buahan dengan luas seadanya. Itu pun masih harus menghadapi resiko penembakan oleh militer perbatasan Israel yang tiap harinya menteror dan mengintimadasi mereka.
Nasib yang tidak jauh beda dirasakan oleh para nelayan Gaza. Kebijakan blokade laut membuat mereka hanya bisa berlayar sejauh 5 mil. “Israel” tahu benar bahwa ikan ikan di perairan mediterania yang membentang di wilayah pantai Jalur Gaza, bersemayam di jarak 8 mil ke atas. Fakta yang menyiksa para nelayan Gaza. Di tambah, berbagai tindakan teror patroli laut Israel atas nelayan Gaza. Dari penembakan, penjarahan kapal nelayan dan penangkapan.
Khusus Ramadhan, blokade ini memiliki andil besar dalam menambah penderitaan warga Gaza. Bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Gaza, dengan adanya blokade, memberikan “Israel” kekuasaan absolute untuk memasukan barang yang diinginkan dan melarang produk produk yang tidak diinginkan.
Terlebih lagi, kampanye boikot produk produk Israel yang sedang mewabah di negara negara Eropa dan Barat sebagai bentuk aksi solidaritas dengan Gaza. Masyarakat Palestina di Gaza sangat senang dan bersemangat untuk turut memboikot, namun lagi lagi blokade memainkan perannya. Israel melarang produk produk selain Israel masuk ke Gaza dan memaksa 1,9 juta warga Gaza menjadi konsumen tetap mereka.
Krisis listrik dan musim panas extrim.
Bukan hal asing bagi sebuah penjara di manapun, bahwa penguasa penjara bebas dan sesuka hati menyediakan penerangan atau mematikannya untuk para tahanan.
Gaza, penjara terbesar di dunia mengalami hal serupa. Merasakan listrik selama 24 jam dalam satu hari adalah “dongeng” bagi masyarakat Palestina di Gaza. Dengan hanya memiliki satu satunya pembangkit listrik, Warga Gaza harus rela berbagi jadwal aliran listrik satu dengan yang lain.
Byarpet aliran listrik di Gaza.
Pola aliran listrik di Gaza yakni, 8 jam ada listrik, 8 jam mati. Krisis listrik ini menjadi momok bagi warga Gaza sepanjang tahunnya. Namun, kondisi terparah terjadi di saat musim dingin dan musim panas. Di musim dingin, dimana suhu bisa mencapai 0 derajat celcius, penghangat air bisa membantu warga Gaza untuk menghadapi dinginnya air untuk berwudhu, mandi, mencuci dan sebagainya.
Adapun dimusim panas, ketika suhu panas mencapai lebih dari 35 derajat celcius, kipas angin menjadi wajib dan listrik harus tersedia. Itupun bagi mereka yang mampu membeli kipas angin listrik.
Musim panas kali ini juga menjadi mimpi buruk bagi warga Gaza yang tinggal di dalam kontainer kontainer karena rumahnya hancur oleh agresi Israel tahun 2014 silam. Kontainer yang bahan dasarnya “seng”, dimusim panas berubah layaknya sebuah “kotak panggangan”.
Musim panas juga menyebabkan bertambah panjangnya waktu siang hari dibandingkan malam hari.
Kita bisa bayangkan, warga Gaza penghuni kontainer harus berpuasa sejak pukul 03.48 pagi hingga pukul 19.48 sore (16 jam) dan menghabiskan siang hari nya di dalam sebuah “panggangan”.
Minimnya bantuan kemanusiaan khususnya pada bulan puasa.
Diantara duka dan derita lain yang melanda waga Gaza dan perlu diketahui oleh dunia adalah berkurangnya perhatian dunia internasional baik itu negara negara muslim maupun non muslim terhadap isu Gaza.
Kenyataan yang pahit memang, sejak mencuatnya konflik “civil war” di Suriah, perhatian dunia khususnya umat islam terhadap Gaza harus diakui berkurang. Lebih khusus lagi yayasan yayasan amal di Indonesia saat ini berbondong bondong mengkampanyekan pengiriman bantuan untuk Suriah.
Saya pribadi sangat setuju dan mendukung dengan kampanya tersebut, semangat teman-teman memang luar biasa. Dan memang kenyataannya umat Islam saudara kita di Suriah memang sedang menderita dan membutuhkan uluran tangan kita. Namun, bukan alangkah baiknya ketika umat Islam di dunia, khususnya di Indonesia bisa tetap menolehkan mukanya untuk Gaza dan menyediakan porsi yang fair untuk warganya.
Menu berbuka,sahur ala kadarnya dan sangat sederhana
Semasa di Indonesia dulu saat berbuka puasa maupun Sahur, berbagai atau ratusan variasi menu berbuka maupun santap sahur budaya ala Indonesia, contohnya saat berbuka puasa tidak ada es kelapa muda maka terasa kurang afdol, di saat berbuka puasa haruslah ada gorengan, gorenganpun jika tidak ada cabe maka lain rasanya, kelapa muda pun jika tidak ada es maka suasana gak guwe bangat. Tak cukup dengan itu saja masih ada deretan menu berbuka yang harus sudah tersaji 30 menit sebelum suara bedug seperti : Kolak biji salak, kolak pisang, tahu goreng, tempe goreng, bakwan, singkong, es teh manis, martabak manis, martabak telur, aneka juice..ini baru sajian mukaddimah atau menu pembuka, sedangkan makanan inti adalah Nasi bungkus isi rendang atau lauk ikan kakap, seafood, pecel ayam, gado-gado, ikan bakar dll dan ga seru bangat jika hidangan penutup atau hidangan cuci mulutnya tanpa ada buah buahan seperti nenas, semangka, mangga dll..limpahan berkah Allah SWT untuk Muslimin di Indonesia, Maa syaa Allah.
Lainnya halnya hidangan berbuka Muslimin di Jalur Gaza Palestina. Memang ada orang sukses dan hidup mereka lebih dari cukup, dapat mencukupi keluarga mereka akan tetapi jumlah mereka tidak banyak, lebih banyak dari kalangan kontraktor, pedagang atau pebisnis, selebihnya keluarga hidup mereka penuh keterbatasan dan ditimpah kesusahan alias keluarga fakir miskin.
Saya pernah menemui satu keluarga miskin, bapaknya menderita sakit kangker, ibunya lumpuh, anak-anaknya tidak memiliki pekerjaan dan sakit-sakitan, tahu tidak awal puasa hingga kini apa yang mereka makan? Hanya timun layu dan air putih, bahkan tidak sedikit dari keluarga fakir di Gaza, mereka menjalani puasa hanya melanjutkan kondisi kesusahan dan perut lapar sebelum bulan Puasa, sangat-sangat terbiasa dengan yang namanya perut kosong, ada seorang ibu menghampiri saya dan menyampaikan : demi Allah SWT awal puasa hingga kini keluarga kami mengkonsumsi salat bandora alias tomat diiris halus dan bawang diiris halus dikasih garam, tanpa roti.
Setiap kali kami distribusikan paket sembako maupun santap berbuka puasa dan sahur, mereka sangat bersyukur dan senang, harga santap berbuka yang kami bagikan memang tidak begitu mahal perloyang dengan harga 10 USD sekitar Rp.135,000 Lauk ayam dan syrup plus nasi dan 1 loyang dapat di makan 6 orang, kami berikan 2 loyang makanan, luar biasa senangnya mereka.
Umumnya Muslimin di Jalur Gaza menjelang adzan Magrib, tidak sesibuk seperti kita di Indonesia, begitu adzan Magrib, minum air putih, makan 5 buah kurma udah pergi ke Masjid untuk Sholat Magrib. Begitu seusai sholat Magrib duduk bersama keluarga dan santap makanan seadanaya seperti Ayam dan nasi ini jika mereka yang hidup beruntung, jika tidak beruntung maka jadi buntung nasib mereka berbuka puasa dengan hidangan Roti, Salat (tomat diiris halus, bawang diiris halus dikasih garam), minyak zaitun, buah zaitun, adonana kacang-kacangan, bumbu za’tar, ya mayoritas dari mereka khususnya keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat akrab dengan hidangan tsb.
Abdillah Onim di Jalur Gaza
(azm/arrahmah.com)