BANDUNG (Arrahmah.com) – Warga Muslim Dusun 4 yang terdiri dari RW 16,17,18 & 19 menolak pembangunan gereja yang letaknya berdekatan dengan pemukiman mereka yang 99,9 persen Muslim.
Rencananya orang Katolik Kabupaten Bandung Barat-Jabar akan membangun Paroki yaitu sebuah gereja dibawah ke-uskupan Bandung, letaknya di kawasan komplek Pondok hijau indah desa Ciwaruga kec. Parongpong, diatas tanah 3 hektar.
Spontan rencana tersebut diprotes warga Muslim Dusun 4 yang terdiri dari RW 16,17,18 & 19 yang letaknya berdekatan dengan rencana pembangunan gereja tersebut. Aplikasi penolakan diwujudkan dengan memasang spanduk penolakan ditanah yang akan dibangun gereja dan membuat pernyataan penolakan yang ditanda tangan seluruh warga Muslim.
Pernyataan tersebut diserahkan warga ke MUI desa Ciwariga, Senin (7/6/2015) di kantor desa Ciwaruga dan ditembuskan ke kepala desa, camat dan KUA.
Menurut Ustadz Aji Baroji ketua MUI desa Ciwaruga, gerakan penolakan ini sangat tepat karena wilayah tersebut berpenduduk 99,9% Muslim yg 0,1% agama lain tapi bukan katolik saja, mungkin katoliknya hanya 2 atau 3 orang. Hal ini melanggar peraturan bersama menteri (PBM) no. 9 dan 8 th 2006.
Ketua Gerakan Pagar Aqidah (GARDAH) Jawa Barat Suryana Nurfatwa menyampaikan bahwa penolakan warga Muslim dimana-mana bukan berdasar sentimen atau arogansi mayoritas kepada minoritas tetapi itu berdasar kepada aturan yg dibuat oleh negara atas kesepakatan semua tokoh agama yg resmi dinegeri ini yakni PBM, demi menjaga kerukunan ummat beragama, terus mengapa warga Muslim protes karena pihak tertentu mendirikan rumah ibadat melanggar PBM, dan yang harus lebih marah adalah pemerintah karena aturannya dilanggar.
Sayangnya PBM tidak ada sanksi hukum jadi para pelanggar semakin marak dan karena tidak ada sanksi hukum dan kadang pemerintah juga tidak cepat tanggap maka masyarakat akhirnya melakukan sanksi sosial dalam bentuk demo dan aksi lainnya sehingga kesannya seperti kaum Muslimin atau pergerakan Islam yang dipandang anarkis atau merusak kerukunan ummat beragama. Padahal yang salah adalah mengapa hal kerukunan umat beragama yang didalamnya mengatur pendirian rumah ibadat diatur oleh peraturan menteri dan UU namanya peraturan menteri tidak ada sanksi hukum, seharusnya diatur oleh Undang-undang sehingga jelas sanksi hukumnya. (azmuttaqin/arrahmah.com)