PAHANG (Arrahmah.com) – Dalam upaya untuk mengekang perilaku yang amoral di dalam masyarakat, negara bagian Pahang Malaysia telah melarang memakai pakaian lawan jenis bagi warga Muslim dan menangkap para pelanggar beberapa hari yang lalu.
“Kami tidak bisa mengambil tindakan apapun sebelum ini,” Wan Wahid Wan Hassan, wakil presiden Agama Islam Pahang dan Dewan Adat Melayu, mengatakan kepada The Wall Street Journal, Selasa (31/12/2013).
“Kami ingin memastikan hal itu tidak meluas.”
Awal Desember ini, pelanggaran tindak pindana syari’ah yang baru yang disahkan tahun 2013 mulai diberlakukan untuk yang pertama kalinya pada bulan Desember.
Hukum yang mengatur tentang “larangan mengenakan pakaian lawan jenis” diterapkan pada ummat Islam hanya di Pahang yang merupakan negara bagian terbesar ketiga di Malaysia.
Menurut amandemen yang baru, setiap Muslim yang ditemukan mengenakan pakaian lawan jenis dapat dihukum dengan penjara satu tahun atau didenda 1.000 ringgit (300 dolar).
Alasan di balik penegakan hukum terkait dengan larangan mengenakan pakaian lawan jenis adalah untuk mengekang tindakan amoral di masyarakat, kata ulama setempat.
“Kami tidak ingin ada perilaku amoral di sini, dan kami akan memastikan bahwa aparat penegak hukum memiliki tugas tambahan terkait dengan penetapan ini ketika mereka keluar untuk melakukan pemeriksaan rutin di seluruh negara bagian,” kata Hassan.
Tugas Dewan Islam Pahang bertugas sebagai pemberi nasehat, sementara penegakan hukum harus dilakukan oleh Departemen Agama Islam Pahang, Hassan menjelaskan.
Mendapatkan kritik
Walaupun peraturan tersebut merupakan i’tikad baik pemerintah Pahang untuk mencegah meluasnya tindakan amoral di kalangan masyarakat Muslim, tetap saja ada yang menentang.
Para penentang undang-undang baru tersebut berpendapat bahwa ketetapan tersebut ‘inkonstitusional’ karena melangkahi kebebasan mendasar yang telah dijamin oleh konstitusi.
“Kekuasaan untuk membuat undang-undang ada pada negara, bahkan ketetapan hukum Islam juga tergantung pada kondisi,” klaim Nizam Bashir Abdul Kariem Bashir, seorang pengacara, kepada The Star Online.
“Negara bagian tidak bisa membuat undang-undang yang melanggar batas atas hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi federal.”
“Dalam hal ini, undang-undang baru tersebut bertentangan dengan pasal 10 dari konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara dalam kebebasan berekspresi.”
“Pakaian merupakan bagian dari ekspresi dan itu adalah kebebasan mendasar yang telah diatur oleh undang-undang negara”
Upaya seorang pemimpin dan ulama untuk menegakkan syari’at Islam dan menjaga aqidah di wilayah kepemimpinan mereka yang mayoritas Muslim, terhalang oleh perundang-undangan negara yang masih mengadopsi undang-undang sekuler warisan penjajah. (ameera/arrahmah.com)