Oleh: Tia Damayanti M. Pd. *)
(Arrahmah.com) – Dunia pendidikan kembali menjadi sorotan. Meskipun sudah berganti menteri dan tentunya berganti kebijakan, dunia pendidikan masih menuai polemik. Seperti saat ini, sebagaimana diberitakan oleh lensaindonesia.com 4 juli 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mendorong upaya membangun ‘perjodohan’ atau kerjasama antara perguruan tinggi atau Kampus dengan industri.
Strategi ini dinilai penting, agar perguruan tinggi dan industri bisa terkoneksi untuk saling memperkuat keduanya. Menurut Nadiem, Kampus bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha.
Pemerintah, kata Nadiem, memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak Kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian.
Memperkuat hal itu, Kagama.co pada 26 Mei, mengutip pernyataan Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud, bahwa di tahun 2020 akan dipersiapkan perjodohan, yang malah akan menjadi pernikahan antara perguruan tinggi dan kalangan industri.
Dirjen Vokasi, Wikan Sakarinto, Ph.D. menyebutkan bahwa perjodohan itu akan berkisar 100an lebih. Satu Kampus dapat berjodoh dengan lebih dari satu industri. Sejalan dengan yang disampaikan Mendikbud dan arahan Presiden Joko Widodo, fungsi pemerintah dalam proyek ini adalah dalam hal sebagai pendukung, regulator dan katalisator.
Pada 27 Mei sore, antaranews.com merilis berita bahwa tujuan utama program ini adalah agar program studi vokasi di perguruan tinggi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi sesuai DUDI yakni Dunia Usaha dan Dunia Industri.
Hal ini tersirat juga dalam pernyataan Nadiem yang memiliki mimpi dalam lima tahun ke depan Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK akan diminati orangtua siswa dan siswa itu sendiri. Saking tingginya minat itu, dia ingin melihat Kepala Sekolah SMK menolak peserta didik karena membeludaknya para pendaftar.
“Saya bermimpi itu bisa terjadi, saya bermimpi bisa mendapatkan program-program terakselerasi sehingga dalam waktu yang jauh lebih singkat para siswa mendapatkan D2, atau juga D4. Itu harapan saya untuk mendapatkan value proposition bagi SMK,” kata Nadiem melalui diskusi daring pada Sabtu (27/6).
Sekilas, gebrakan ini terkesan menggiurkan, yaitu lulusan vokasi dari PT bisa memenuhi lapangan kerja yang tentunya akan mengurangi angka pengangguran yang kian tinggi akibat pandemi. Namun jika kita cermati, gebrakan ini justru mengarahkan generasi menjadi buruh dan pemburu materi. Setelah selesai menempuh pendidikan, orientasi mereka (baca : lulusan vokasi PT) adalah bekerja mencari materi sebanyak-banyaknya. Sehingga dari sini menghasilkan generasi yang gersang akan iman dan menjadikan materi adalah segalanya.
Sungguh miris, ketika visi pendidikan berorientasi pada industri semata. Akibatnya sistem pendidikan negeri ini kian kehilangan visi pendidikan, kurikulum menyesuaikan keinginan dunia industri dan akan mengikis ketertarikan generasi muda negeri ini terhadap ilmu. Semangat menuntut ilmu akan padam karena mereka akan berpandangan ‘tidak perlu kuliah tinggi, toh nanti ujung-ujungnya bergelut dengan dunia industri’.
Oleh karena itu, sudah saatnya terjadi perubahan mendasar pada sistem pendidikan di negeri kita. Sebuah revolusi yang akan mengubah visi dunia pendidikan kita. Dan hanya Islam yang mampu melakukan perubahan itu.
Dalam Islam, pendidikan adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap yang Islami), menguasai pemikiran Islam dengan andal, menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK) serta memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Tujuan pendidikan Islam adalah membekali akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik itu mengenai aqaid, maupun hukum. Islam bahkan telah memberikan dorongan agar manusia menuntut ilmu dan membekalinya dengan pengetahuan. (Q.S. Az-Zumar 9; Al-Mujadalah 11).
Materi yang disampaikan pun bukan diambil dari pemikiran asing selain Islam, karena Islam mempunyai khasanah pemikiran yang khas dan berbeda dengan pemikiran lain.
Sistem pendidikan Islam memposisikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib diselesaikan oleh negara. Oleh karena itu, negara menjamin setiap rakyatnya, baik laki-laki dan perempuan untuk menikmati proses pendidikan hingga perguruan tinggi tanpa memungut biaya. Demikian pula kesehatan dan keamanan, diberikan secara cuma-cuma kepada setiap individu rakyat, karena merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat. (Abdurrahman Al Maaliki, 1963).
Negara dalam Islam benar-benar menyadari, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan. Maka negara mengupayakan maksimal agar pendidikan bisa dirasakan oleh semua umat. Negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah SAW bersabda:
Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pada masa-masa kejayaan dan puncak keemasan Islam, negara mampu mengumpulkan banyak ilmuwan muslim berkaliber internasional yang telah menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat manusia.
Pada saat berjayanya peradaban Islam, semangat mencari ilmu sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Semangat mencari ilmu yang dikembangkan menjadi tradisi intelektual yang dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang dimulai dipahami, ditembangkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi ‘tabiin dan para ulama yang datang dimulai dengan mempertimbangkan pada Sunnah Nabi Muhammad saw.
Fakta sejarah yang direkam pada masa Kedaulatan Abbasiyah terjadi di dunia Islam dalam bidang dan teknologi, di mana Baghdad meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang. Secara politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuatan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Contohnya pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid. Pada masa pemerintahannya, ia banyak mengatur sekolah, yang salah satu karya memuji pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemah yang mengelola perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan universitas, karena di sebelahnya terdapat kitab-kitab, di sana orang lain juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Terjadi perkembangan lembaga pendidikan pada masa Harun Al Rasyid memikirkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah juga lahir keempat imam mazhab: Imam Abu Hanifah (700-767 M); Imam Malik (713-795 M); Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M).
Ini hanya segelintir fakta sejarah. Masih banyak fakta lain yang menggambarkan bagaimana kegemilangan Islam mampu menjadikan umat Islam menjadi khoiru ummah.
Wallahua’lam bishshawab.
*) Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial Politik
(*/arrahmah.com)