(Arrahmah.com) – Sekitar 11 kilometer dari pusat kota Melbourne ke utara, tepatnya di Anderson Road, Thornbury, Victoria, Australia, berdiri megah sebuah bangunan berfasad paduan marmer putih bermotif kaligrafi dan material baja berlapis seperti karat.
Sekilas tak tampak seperti museum, tetapi siapa pun bisa mengenalinya sebagai museum ketika membaca tulisan “Islamic Museum of Australia” di kiri atas, di atas marmer putih pada fasad tersebut.
Di sisi kanan, gerbang masuk terbuka lebar. Dari situ, pengunjung masuk menuju bagian belakang dari lahan seluas 3.000 meter persegi ini. Di bagian belakang itulah, pintu masuk museum berada.
Melewati tangga dan lorong, setelah membeli tiket seharga 12 dolar Australia untuk dewasa dan 8 dolar Australia untuk anak, pengunjung diarahkan melewati tangga menuju bagian depan museum. Di sana, pengunjung akan tiba di sebuah area yang memperkenalkan wajah Islam.
Berdiri lima pilar yang bertuliskan masing-masing rukun Islam dan penjelasan singkatnya, mulai dari shahada (sahadat), salat, zakat, sawm (puasa), dan hajj (ibadah haji).
Lalu ada kronologi sejarah perkembangan Islam dan penjelasan tentang Al-Quran. Bahkan, di dinding kaca tertulis pula pohon keluarga para nabi dan penjelasan tentang Yesus dalam pandangan Islam.
Di ruangan sebelah yang jauh lebih kecil yang disebut Hajj Theatre, ada monitor lebar yang memuat tayangan yang membawa para pengunjung ke Mekkah untuk melihat ibadah haji yang dilakukan oleh umat Muslim. Ada tiga baris bangku yang bisa dipakai pengunjung untuk duduk menonton tayangan di layar tersebut.
Di dinding-dinding setelahnya, terpampang sejumlah kutipan firman Allah SWT dari Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad SAW.
“Speak good words or remain silent,” demikian bunyi salah satu kutipan dari sabda Nabi Muhammad SAW yang tercatat di dinding.
Di area berikutnya yang dinamakan ‘Islamic Contribution to Civilisation’, terpampang karya seni dan catatan pengaruh Islam yang berpengaruh pada dunia, terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan, mulai dari aljabar, permainan catur, hingga kisah Abbas ibn Firnas yang bisa terbang dengan pesawat layang tanpa mesin.
Catur, misalnya, disebutkan berkembang di Eropa dari sebuah permainan dari kawasan Persia bernama shatranj.
Batik Motif Parang
Ruangan lainnya di lantai satu museum ini bertajuk “Islamic Art”. Di area ini dipajang karya-karya seni yang terinspirasi oleh nilai-nilai Islam, seperti lukisan “The Jewelled Peacock” karya Anisa Sharif yang membuat mosaik di atas kaca.
Terinspirasi dari sejumlah masjid dengan hiasan mosaik kaca yang dikunjunginya saat keliling dunia, dia lalu membuat lukisan merak yang menunjukkan sisi keindahan dan humor dari manusia.
Ada pula patung berukuran sedang dari bahan perunggu berbentuk dua orang yang saling berhadapan dengan kedua tangan mengepal di depan dada seperti hendak berkelahi. Karya seni Abdul Rahman Abdullah ini bertajuk “Big Jihad”.
“Big Jihad menyuguhkan makna dari jihad yang sesungguhnya, saat umat Muslim sebagai pribadi berjuang melawan nafsu dan keinginannya,” demikian keterangan yang tertulis mengenai patung ini.
Yang menarik, di salah satu sudut area ini dipajang kain tradisional asal Indonesia, kain batik bermotif parang, berukuran 220×110 sentimeter. Dalam keterangan yang terpampang di sebelahnya, motif parang sering kali diartikan sebagai keris atau pedang oleh orang-orang di luar Jawa, namun orang Jawa menyebut motif ini sebagai lidah api.
Motif ini dinilai sebagai simbol dari pertarungan di dalam diri melawan dosa dengan mengendalikan nafsu dan keinginan mereka sehingga kebijaksanaan dan karakter yang mulia menang. Hal ini dinilai sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Pelaut Makassar
Di lantai dua, pengunjung bisa menemukan fakta tentang karya arsitektur Islam dan sejarah perkembangan Islam di Australia.
Berbagai gambar dan sejarah singkat mengenai masjid-masjid megah dari berbagai penjuru dunia dipampangkan. Ada pula ruangan kecil dengan bagian atasnya berbentuk kubah yang memperdengarkan suara azan ketika pengunjung berdiri di dalamnya.
Di antara gambar masjid-masjid megah, ada sebuah gambar bangunan terbuka dengan tiang dan atap dari kayu. Itu adalah masjid pertama di Australia yang dibangun oleh kaum yang disebut para penunggang unta dari Afganistan. Masjid ini didirikan di Marree, Australia Selatan, pada tahun 1861. Meski demikian, Sherene Hassan, Education Director dari Islamic Museum of Australia, mengatakan bahwa Islam pertama kali diperkenalkan di Australia oleh para pelaut dari Makassar.
Sherene menyebutkan, para pelaut asal Makassar melakukan kontak dengan bangsa Australia untuk pertama kalinya pada akhir abad 17. Mereka datang dengan santun untuk menjalin kerja sama perdagangan teripang dengan penduduk asli Australia, Aborigin, di Arnhem Land di utara Australia.
“Sebagian besar pelaut dari Makassar beragama Islam. Karena para pelaut itu berinteraksi dengan suku asli sehingga secara spiritual suku Aborigin di utara Australia terpengaruh agama Islam yang dipeluk oleh para pelaut asal Makassar,” tutur Sherene.
Museum Islam Pertama
Sherene mengatakan, museum yang dibangun pada tahun 2010 ini dikenal sebagai museum Islam pertama di Australia. Namun, museum ini baru dibuka dua tahun lalu.
“Sudah lebih dari 20.000 orang yang datang ke museum ini. Sebagian besar adalah non-muslim,” katanya.
Dia menuturkan bahwa pada awalnya museum ini didirikan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang Islam kepada publik di Australia. Bukan tanpa sebab, masyarakat Australia, lanjutnya, selama ini kerap diterpa informasi yang menghubungkan Islam dengan aksi terorisme. Bahkan sampai timbul fenomena Islamofobia di kalangan warga non-muslim di Australia.
“Bagi orang-orang yang memiliki pandangan negatif tentang Islam, silakan datang ke museum ini dan buktikan apakah pandangan negatif tentang Islam tersebut benar atau tidak,” tuturnya.
Paula Woodward mengaku senang mengetahui perkembangan sejarah Islam di Australia, termasuk ketika melihat gambar masjid pertama di Australia tersebut. Paula mengatakan, dia dan suaminya sudah pernah mengunjungi masjid pertama di Australia di Marree.
Paula dan suaminya sengaja datang ke Melbourne dari Tasmania, Australia, untuk mengunjungi museum ini. Mereka ingin menambah wawasan tentang Islam.
“Kami melihat tayangan di televisi lalu memutuskan untuk datang ke Melbourne dan mendatangi museum ini,” ujarnya.
Zulkifli Latib, pengunjung asal Malaysia, mengaku menyempatkan datang ke museum ini ketika berkunjung ke Melbourne. Dia datang bersama dengan istrinya.
“Alhamdulilah, bisa mempromosikan Islam kan. Jadi untuk orang yang bukan Islam bisa mendapatkan informasi tentang budaya Islam, bagaimana berbaur dengan budaya lainnya,” kata Zulkifli.
(*/Arrahah.com)