KAIRO (Arrahmah.com) – Mesir berusaha mendekatkan Ketua Parlemen Agila Saleh dan pemimpin Tentara Nasional Libya (LNA) Khalifa Haftar melalui pertemuan yang diadakan di Kairo, Rabu (23/9/2020).
Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi bertemu dengan Saleh dan Haftar.
“Selama pembicaraan, Sisi diberi pengarahan tentang perkembangan di Libya dan upaya semua pihak untuk menerapkan gencatan senjata di satu sisi, dan tentang upaya Libya untuk mempromosikan proses perdamaian di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa di sisi lain,” kata juru bicara kepresidenan Bassam Radi.
Saleh belum mengomentari “kesepakatan mendadak” yang dicapai antara Haftar dan Ahmed Maiteeq, wakil presiden Dewan Kepresidenan Libya, tentang dimulainya kembali produksi minyak setelah absen selama sembilan bulan.
Meskipun Haftar tidak menyatakan dukungannya terhadap inisiatif yang diluncurkan oleh Saleh untuk menyelesaikan krisis Libya, ia menegaskan kembali keinginannya untuk mematuhi legitimasi dewan legislatif.
Dalam sebuah pernyataan, dia menggambarkan pertemuan hari Rabu (24/9) itu penting, dan mencatat bahwa dalam pertemuan tersebut semua pihak membahas perkembangan politik di Libya.
Mesir berkomitmen untuk membantu Libya “membersihkan negara mereka dari milisi bersenjata dan organisasi teroris, dan mengakhiri campur tangan terang-terangan dari beberapa partai regional,” kata Radi.
Sisi mendesak semua pihak dalam konflik Libya untuk kembali ke proses politik dengan tujuan memulihkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas.
Kepala Pemerintahan Kesepakatan Nasional Fayez al-Sarraj mengatakan bahwa dia bertemu pada Rabu (23/9) dengan pemimpin Dewan Tinggi Negara, Khaled al-Mishri.
Mereka menegaskan pentingnya melakukan gencatan senjata dan menghentikan semua pertempuran di wilayah Libya.
Dalam konteks terkait, LNA meminta Misi Dukungan PBB di Libya (UNSMIL) untuk memikul tanggung jawab terhadap pusat penahanan rahasia yang dijalankan oleh milisi yang mendukung GNA.
LNA mencatat bahwa kamp-kamp ini terletak di dekat markas UNSMIL.
Brigadir Jenderal LNA Khalid Al-Mahjoub mengatakan bahwa penduduk Tripoli telah menjadi korban bentuk penyiksaan terburuk yang dilakukan oleh milisi dan organisasi ekstremis yang menguasai sebagian besar ibu kota. (Althaf/arrahmah.com)