YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Terorisme yang sejak dulu dipahami sebagai tindakan kriminal, kini berubah wajah yang seolah hanya identik dengan perbuatan Islam militan, padahal Islam jauh dari teroris dan kekerasan, kata seorang akademisi Universitas Tadulako Palu.
“Tidak semua umat Islam bisa dikatakan teroris, begitu pula yang memiliki kebiasaan berbeda dengan masyarakat sekitarnya,” kata dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Dr Muhammad Khairil di Yogyakarta, Jumat (15/2/2013) seperti dilansir Antara.
Menurut dia pada kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), tidak selamanya umat Islam yang cara ibadahnya berbeda, memakai celana di atas telapak kaki, berjenggot, dan yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya dikategorikan sebagai teroris.
“Kita harus mengubah cara pandang tersebut karena penyebutan kata ‘teroris’ itu bukan hanya tertuju pada satu kelompok umat tertentu saja,” katanya.
Ia mengklaim aksi terorisme itu sebenarnya bertujuan untuk melumpuhkan otoritas pemerintahan yang tidak mereka sukai, sehingga kelompok tersebut dapat menerapkan mazhab atau aliran yang mereka anut.
“Terpidana teroris itu lebih pada mereka yang menjadi korban atas resolusi konflik yang kurang mereka setujui dan tidak sesuai dengan keinginan serta belum membuahkan hasil damai,” katanya.
Menurut dia, media juga tidak harus memberitakan tentang terorisme dari satu sudut pandang seperti pemerintah atau Detasemen Khusus (Densus) 88. Media harus “cover both side”.
Sumber berita juga harus digali dari terpidana teroris agar masyarakat juga mendapat pengetahuan dari dua sisi sudut pandang.
“Bahkan salah satu terpidana teroris yang pernah saya wawancarai, pernah mengatakan untuk mengajak wartawan juga agar mereka tahu tentang teroris itu dari sudut pandang pelaku atau kelompok-kelompok tersebut,” katanya. (bilal/arrahmah.com)