(Arrahmah.com) – Islam adalah rahmatan lil ‘alamin—pernyataan ini sudah lekat dalam kepala setiap muslim. Selanjutnya yang menjadi sangat penting bagi setiap orang yang mengaku sebagai muslim adalah bahwa ia harus meyakini islam adalah satu-satunya undang-undang kehidupan dan peraturan hidup yang hakiki bagi manusia dan diridhoi-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menerapkan ini dalam hidupnya, ia mendapat janji dari Allah Ta’ala berupa jaminan kehidupan yang mulia di dunia dan di akhirat, seperti firman-Nya,
Artinya, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya diantara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Qur’an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (QS. an-Nisa’, 4 : 162)
Untuk menjaga kesucian dien ini, Allah Ta’ala telah menetapkan para utusan-Nya bagi setiap umat dengan mengirimkan orang-orang yang mujaddid atau orang-orang yang berupaya mengembalikan syaria’t sesuai dengan yang diturunkan oleh Allah Ta’ala dan membumikan sunnah-sunnah yang diwariskan oleh Rasulullah saw kepada umat saat ini. Mereka dijadikan oleh Allah Ta’ala sebagai wali di muka bumi untuk tetap mengawal umat sehingga tidak berbelok ke arah yang berseberangan dengan jalan-Nya. Sementara dunia saat ini (baca: orang-orang kafir) sudah bergelora menancapkan syari’at sesatnya guna memalingkan manusia sejauh-jauhnya dari dien yang hak.
Kedudukan ilmu
Sesungguhnya para ulama mujaddid dihadirkan untuk umat karena ia memiliki kecukupan dan kecakapan dalam ilmu, terutama ilmu dien. Hal itu menandakan pentingnya kepemilikan ilmu. Sementara posisi ilmu dalam islam adalah hal yang paling utama sebelum beramal dan yang juga paling utama setelah beriman, sebab fungsi ilmu menyuburkan iman dan menunjukkan jalan kebenaran iman. Al-Qur’an banyak menyebutkan keterkaitan antara ilmu dan iman karena keduanya merupakan sarana yang dapat beroleh kemuliaan dan ketinggian derajat manusia di mata Allah Ta’ala. Seperti firman-Nya,
Artinya, “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadilah, 58:11)
Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa kedudukan orang-orang beriman jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang kafir meski mereka memiliki kelebihan yang bersifat keduniaan dari orang-orang beriman. Namun derajat orang-orang beriman yang berilmu akan menempati posisi yang lebih baik lagi ketimbang orang yang hanya beriman saja. Hal tersebut dikarenakan hanya dengan sarana ilmu lah, seseorang dapat mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil, yang mana yang sesuai dengan standar kebenaran yang telah disyari’atkan Allah Ta’ala kepada manusia dan yang mana yang hanya mengekor kepada thoghut.
Para ulama menetapkan bahwa syarat syahnya suatu amalan adalah ikhlas dan ittiba’ (mengikuti). Bagaimana ittiba’ bisa berlangsung—disinilah pentingnya peran ilmu. Mana mungkin seseorang bisa mengikuti, sementara ia tidak tahu siapa dan apa yang harus diikutinya… Sementara Rasulullah saw bersabda,
Artinya, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahku, maka amalan itu tertolak.”(HR. Muslim)
Dengan ilmu, manusia bisa memperoleh pengetahuan akan cara hidup yang harus dijalaninya, memperoleh pengetahuan tentang apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk bagi dirinya, mengetahui kesempatannya untuk bisa memperoleh derajat kemuliaan di sisi sang Kholik, bahkan dengan ilmu ia bisa merasakan kehadiran Allah Ta’ala mengawasi dirinya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
Artinya, “Manusia itu lebih membutuhkan ilmu daripada makan dan minum, karena seseorang itu butuh makan dan minum sekali atau dua kali sehari, sedangkan ilmu itu dibutuhkan setiap kali hembusan nafasnya.” (kitab Madarijus Salikin)
Rasulullah saw juga pernah menegaskan tentang keutamaan ilmu bagi seseorang,
Artinya, “Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya ia menjadi baik, maka Dia memberinya pemahaman terhadap agama (al-Qur’an dan as-Sunnah).” (HR. Bukhari)
Banyaknya pernyataan dari Allah Ta’ala yang menunjukkan tingginya derajat ilmu diantaranya yaitu bahwa posisi orang yang berilmu dibanding semua manusia adalah bak bulan purnama diantara bintang-gemintang, ia mendapatkan penghormatan dari para malaikat yang menundukkan sayapnya, serta beroleh pertolongan untuk dimintakan-ampunan dari binatang, tetumbuhan, bahkan benda-benda mati disekitarnya.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. al-Baqarah, 2 : 269)
Oleh karena itulah, hanya dengan ilmu—kemuliaan dapat diperoleh. Tentu saja ilmu yang mendapat jaminan kemuliaan bagi pemiliknya adalah ilmu dien atau ilmu syari’at, yang berguna untuk mengetahui segala yang diwajibkan dan segala yang diharamkan kepada muslim yang mukallaf. Ilmu juga merupakan warisan yang paling berharga yang ditinggalkan oleh para nabi dan rasul bagi umatnya sehingga para ulama dan orang-orang berilmu adalah orang-orang yang paling beruntung karenanya. Maka sudah seyogyanya kita selalu memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan kemudahan dalam memperoleh ilmu serta memahamkannya. Allah Ta’ala telah mengajarkan dalam firman-Nya,
Artinya, “…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha, 20 : 114)
Hal penting kemudian adalah mencari wasilah untuk diperolehnya ilmu yang telah dimohonkan tersebut. Begitu banyak kisah yang bisa kita ketahui bahwa para nabi dan rasul memiliki perjalanan yang panjang dalam usahanya memperoleh ilmu, demikian pula para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut-tabi’in, hingga para ulama saat ini. Semuanya berikhtiar dengan segenap kemampuan yang ada.
Lalu bagaimanakah dengan kita sendiri? Apakah yang sudah kita peroleh selama ini?
Sebagian besar mungkin sudah merasa cukup dengan perolehan yang ada, bahkan tak sedikit yang merasa puas karena sudah dilahirkan oleh orang-tua yang muslim. Memang benar, islamnya kita karena keturunan merupakan anugrah yang patut disyukuri—namun modal dasar yang kita sudah miliki tersebut tetap harus ditingkatkan karena ia perlahan bisa memudar bahkan lenyap karena tak pernah disuburkan dengan ilmu.
Para ulama terdahulu memiliki ghiroh luar-biasa terhadap ilmu. Mereka berkemauan keras demi tercapainya ilmu. Melalui perjalanan yang tak sebentar, dengan harta yang mereka habiskan hingga menjadi miskin karenanya, dan dengan menemui begitu banyak orang shalih yang mempunyai kecakapan ilmu yang hidup di zaman mereka.
Rasulullah saw bersabda,
Artinya, “Bahwasanya siapa yang melalui suatu jalan dalam menuntut ilmu, maka akan dimudahkan baginya jalan ke surga…” (Shahih al-Jami’ no. 1727)
Manshur bin Ammar al-Khurasani, dalam kitab Al-Muhadditsul Fasil Baina Arraawi wal Waa’i (hal. 220-221), mengatakan tentang orang-orang yang mencari ilmu bahwa mereka keluar dari satu negeri ke negeri yang lain, menelusuri setiap lembah, kusut rambutnya, lusuh bajunya, kempis perutnya, kering bibirnya, dan kurus badannya untuk mencari ilmu. Mereka hanya punya satu impian, yaitu keridhaan pada ilmu. Tidak menghalangi mereka rasa lapar dan dahaga, serta semangat mereka tidak pernah lekang oleh cuaca panas ataupun dingin. Mereka membedakan hadits yang shahih dengan yang dha’if dengan pengetahuan yang kuat, pemikiran yang cemerlang, serta hati yang siap untuk menerima kebenaran. Maka amanlah mereka dari kerancuan dan hal-hal yang dibuat-buat orang dan dari kebohongan para pendusta.
Mereka mengembara mencari ilmu di siang-siang yang panas dan menghidupkan malam dengan menuliskan ilmu yang telah mereka dapatkan. Umur mereka pun habis dalam menekuni ilmu, terlebih kesenangan mereka terhadap dunia yang semakin tak menjadi prioritas. Dunia bagi mereka adalah hari-hari yang berlalu, yang apabila tanpa dihiasi dengan ilmu hanya merupakan kesia-siaan yang bisa mendatangkan kebinasaan bagi manusia.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitab Syafahat min Shabril ulama’, “Tidak sesuai orang yang menuntut ilmu, kecuali bagi orang yang siap miskin.” Beliau juga berkata, “Tidak mungkin menuntut ilmu, orang yang pembosan dan sering berubah pikiran serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi, menuntut ilmu dengan menahan diri, dengan kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut, maka dengan itu ia akan beruntung.”
Beberapa kisah perjalanan para ulama dalam menuntut ilmu
Dalam firman-Nya,
Artinya, “…mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah, 9 : 122)
Imam Syafi’i rahimahullah menegaskan bahwa tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu kecuali ia berada dalam keadaan serba kekurangan. “Aku dahulu untuk mencari sehelai kertas pun sangat sulit, sehingga setiap kali selesai menyimak seorang guru—aku pulang lalu mengambil tembikar, pelepah kurma, dan tulang unta. Aku menulis hadits yang telah kuhafalkan disitu dan jika telah tak ada lagi bidang yang tersisa untuk kutulis—aku menyimpannya dalam gentong milik ibuku hingga penuh dengannya.” (Kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih)
Abu Darda’ mengatakan, “Kalau aku menemukan satu ayat dalam al-Qur’an dan tidak ada yang bisa menerangkannya kepadaku, kecuali seseorang yang tinggal sangat jauh sekali, maka aku akan temui ia.” (Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits, 1/195)
Sa’id al-Musayyab pernah berkata, “Sesungguhnya aku pernah berjalan berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits.” (HR. Malik)
Imam Malik bin Anas pernah belajar dari 900 guru, sekitar 300 dari mereka merupakan golongan tabi’in, dan selainnya merupakan tabi’ut-tabi’in. Ia sangat menaruh perhatian pada keotentikan satu riwayat dan sangat berhati-hati agar tidak mengambil riwayat dari orang-orang yang tidak tsiqoh. Dituliskan dalam Tartibul Madarik li Ma’rifati A’lami Mazhabil Malik bahwa Imam Malik sedemikiannya merasakan kemiskinan untuk memperoleh ilmu, sampai-sampai ia menjual kayu atap rumahnya.
Imam Ahmad bin Hambal, seperti yang disebutkan Ibnu al-Jauzi dalam kitab Shaidul Khathir, mengatakan bahwa beliau (Imam Ahmad bin Hambal) sampai dua kali mengelilingi dunia untuk menuntut ilmu hingga beliau dapat mengumpulkan musnad. Sementara Abdullah bin Muhammad al-Baghawi mengatakan bahwa Ahmad bin Hambal berkata, “Aku akan menuntut ilmu hingga aku dimasukkan ke liang kubur.”
Dari Ja’far bin Muhammad al-Quthun bahwa Imam Bukhari berkata, “Aku belajar pada seribu orang ulama, bahkan lebih dan aku tidak menuliskan satu hadits pun kecuali kusebutkan sanadnya.” Beliau rahimahullah juga berkata, “Aku menulis kitab Ash-Shahih selama sepuluh tahun dan aku mengeluarkan padanya enamratus ribu hadits, dan aku menjadikannya sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.”
Begitu juga keseriusan yang dijalani syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mempelajari al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu nahwu, fiqih beserta hukum-hukum ushulnya, tafsir, dan lainnya dalam usia yang masih belasan tahun sampai-sampai di tempat tinggalnya di Damaskus ia dikenal sebagai seorang yang cerdas, memiliki hafalan yang kuat, serta memahami beragam risalah. Kehidupannya pun juga diwarnai oleh banyak penentangan hingga sempat memasukkannya ke dalam penjara. Namun itu tidak menyurutkan semangatnya, seperti yang dikatakan Ibnu Abdil Hadi, “Syaikh Ibnu Taimiyyah memiliki karangan, fatwa, kaidah, jawaban, dan yang lainnya hingga tidak terhingga. Aku tidak mengetahui seorang pun yang mengumpulkan seperti yang beliau kumpulkan atau menulis seperti yang beliau tulis. Padahal kebanyakan dari tulisannya adalah hasil dari apa yang didiktekan dari hafalan dan ditulis ketika beliau dalam penjara yang tentu tidak ada buku rujukan yang bisa beliau gunakan pada saat seperti itu.”
Demikian sekilas perjuangan dan kesungguhan para mujaddid dalam meniti ilmu. Apa yang mereka tinggalkan merupakan sebuah keberuntungan untuk hidup kita di masa sekarang. Seperti sabda Rasulullah saw,
Artinya, “Sesungguhnya para nabi tidak pernah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mendapat bagian yang sangat besar.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Karya besar mereka sudah diaplikasikan dalam berbagai media yang pada era ini amat mudah kita peroleh dimana-mana. Tinggal kita camkan pada diri kita: kapan akan kita ikuti proyek cara hidup mereka dengan pemenuhan nilai investasi keseriusan fi sabilillah berjangka-panjang demi peraihan akhir yang gemilang seperti mereka… Sementara sudah teramat cukup rasanya kita memenuhi keseharian kita dengan berleha-leha menghambur-hamburkan umur, menikmati berbagai hiburan yang menina-bobokan akal dan mengeraskan hati, bahkan adakalanya hanya serius untuk memenuhi perkara perut semata. Sementara musuh-musuh Islam sudah ditakdirkan akan selalu berupaya mengganyang iman kaum muslimin.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita meningkatkan kualitas diri kita sebagai seorang muslim melalui keilmuan yang hakiki. Lalu senantiasa bermunajat agar diberikan kemudahan dalam kefaqihan;
Artinya, “…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha, 20 : 114).
Wallahu’alam bish shawab…
___________________________
Oleh: Ustadz Abu Jibriel Abdurrahman
http://abujibriel.com