JAKARTA (Arrahmah.com) – PT Freeport Indonesia pengelola tambang emas di Papua disebut banyak melanggar aturan dalam kontrak karya dengan pemerintah Indonesia.
“Ada empat pelanggaran berat yang dilakukan PT Freeport Indonesia, pertama melanggar kontrak karya yang ditanda-tangani tgl 30 desember 1991. Kedua, melanggar UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. Ketiga, melanggar Undang Undang Minerba nomor 4 tahun 2009. Keempat, melanggar Undang-Undang Lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia,” ujar pengamat kebijakan ekonomi, Yusri Usman di Jakarta, Jumat (18/12/2015), lansir Aktual.com.
Menurutnya, kewajiban fundamental Freeport adalah membangun smelter dan divestasi saham sebesar 51 persen. Kewajiban tersebut sudah tertuang dalam perpanjangan kontrak karya pada 1991 yang diteken Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita, serta semua ketentutan tersebut telah diatur tegas dalam UU Minerba Tahun 2009.
Yusri Usman menegaskan bahwa sudah seharusnya kontrak karya Freeport tidak diperpanjang, tidak perlu nasionalisasi, biarkan habis masa kontraknya.
“Kontrak Freeport sudah seharusnya tidak akan diperpanjang pasca 2021. Bukan nasionalisasi blok Mahakam. Serahkan saja kepada PT Antam dan PT Inalum,” ujar Yusri.
Sikap curang Freeport, lanjtutnya, terlihat pada kewajiban divestasi hanya 30 persen seperti tertuang dalam poin di UU Minerba dan PP 77 Tahun 2014, Pasal 7C ayat d. Pasal tersebut diberlakukan untuk IUP Operasi Produksi di bawah tanah. Namun Freeport tetap bersikukuh izin Kontrak Karya mereka adalah “lex specialist alias neil down”.
“Faktanya, kewajiban itu pun tidak dilakukan sebelum ada kepastian dari pemerintah untuk memperpanjang kontraknya,” ujar Yusri.
Terkait kepemilikan dan sindikasi uang, Yusri menyarankan agar sepenuhnya dilimpahkan kepada BUMN.
“Silahkan investor asing mau ikut. Namun beli saham BUMN, bukan beli Saham Propinsi dan Kabupaten yang diwakili Perusda, digendong oleh BUMN supaya bisa menghidari pemburu rente,” ujarnya. (azm/arrahmah.com)