(Arrahmah.com) – Bagi orang beriman, sikap toleran hanya bisa terbentuk bila kita menjalankan kebenaran yang diajarkan Allah dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Karena toleransi, bagi orang Mukmin bukan sekadar tenggang rasa yang didasarkan pada ikatan tradisional, kekerabatan, kesukuan, ataupun nasionalisme, seperti pegangan masyarakat musyrik dan jahiliyah. Sebab, bagi masyarakat musyrik dan jahiliyah, toleransi merupakan prinsip hak asasi di atas kebenaran. Sehingga, tidak masalah membuang firman Allah dan sunnah Rasulullah bila dianggap merugikan persatuan, menghilangkan sikap toleran, mengancam kerukunan antar umat beragama. Sikap jahiliyah ini diungkap dalam Al-Quran:
“Ibrahim berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah itu hanyalah patung-patung. Kalian lakukan penyembahan patung-patung itu hanya demi tenggang rasa dan menjalin persatuan kalian dalam kehidupan di dunia ini. Pada hari kiamat kelak, kalian akan saling menyalahkan atas kesesatan yang kalian lakukan di dunia ini. Sebagian kalian akan melaknat sebagian yang lain. Tempat tinggal kalian adalah neraka. Kalian tidak akan mendapatkan seorang pun yang dapat menolong kalian dari siksa neraka.” (QS Al-‘Ankabuut (29) : 25)
Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa demi toleransi, menjaga persatuan dan kerukunan menjadi alasan bagi Namrud dan kaumnya untuk menolak seruan kebenaran yang dibawa Nabi Ibrahim. Agar jangan terjadi gejolak dalam kehidupan sosial masyarakat, maka penyembahan patung pun bisa diterima sebagai alat persatuan dan toleransi. Namrud tidak keberatan membiarkan penyembahan berhala, kemungkaran merajalela, kesesatan dan kemaksiatan membelenggu kehidupan masyarakat asalkan segala perbuatan itu dapat menjaga persatuan dan sikap toleran dalam beragama.
Apabila muncul seseorang yang mengoreksi kesalahan mereka, maka bergemuruh suara permusuhan, intimidasi, dan ancaman, untuk membungkam upaya perbaikan tradisi, ideologi dan pelurusan akidah masyarakat. Itulah yang menimpa Nabi Ibrahim, sebagaimana firman Allah pada ayat sebelumnya:
“Karena itu jawaban kaum Ibrahim kepadanya hanyalah: “Bunuhlah Ibrahim atau bakarlah dia!” Allah pun menyelamatkan Ibrahim dari kobaran api. Sungguh penyelamatan Ibrahim dari kobaran api merupakan bukti kekuasaan Allah bagi kaum yang mau beriman kepada-Nya.” (QS Al-‘Ankabuut (29) : 24)
Apakah yang diserukan oleh Nabi lbrahim sehingga dia diancam untuk dibunuh, dituduh pemecah belah persatuan dan bersikap intoleran? Bahkan dituduh mengganggu kedamain yang dapat menimbulkan gangguan stabilitas keamanan negara. Padahal Nabi Ibrahim hanya mengajak masyarakat supaya bertauhid, menyembah Allah dan memberantas kesesatan.
“Sungguh tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah hanyalah patung. Selama ini kalian hanyalah berdusta atas nama agama. Sungguh patung-patung yang jadi sesembahan kalian selain Allah, sedikit pun tidak mampu memberikan rezeki kepada kalian. Karena itu, mintalah rezeki kepada Allah. Tunduk dan patuhlah kalian kepada-Nya. Taatlah kepada-Nya dalam menggunakan nikmat-Nya. Hanya kepada Allah kelak kalian dikembalikan. (QS Al-‘Ankabuut (29) : 17)
Namrud dan kaumnya menyadari bahwa menyembah patung itu sesat, tetapi karena telah membudaya, maka tokoh-tokoh masyarakat yang masih baik tidak mau tampil untuk memberantasnya, karena khawatir dimusuhi oleh masyarakatnya. Fenomena inilah yang menimpa tokoh Islam hari ini, sehingga para ulama, cendekiawan, intelektual Muslim, ikut larut dalam propaganda musyrik dan jahiliyah.
Melawan Neo Namrudisme
Kasus dakwah yang dialami Nabi Ibrahim, yang menimbulkan amarah Raja Namrud sangat relevan dengan kondisi zaman modern. Ternyata metode Namrud dalam membungkam kebenaran Islam ditiru oleh para penguasa Indonesia. Mereka membungkam perjuangan penegakan syariat Islam di lembaga negara menggunakan tipu muslihat dan slogan persatuan.
Sebagaimana Namrud, generasi Neo Namrudisme Soekarno-Hatta, juga menggunakan slogan persatuan, demi menjaga stabilitas nasional, untuk menjegal pelaksanaan syariat Islam. Terbukti kemudian Soekarno dan M. Hatta mencoret Piagam Jakarta, yang menjadi dasar negara hasil musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): “Dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudian diganti dengan Ketuhanan YME, sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Akibatnya, atas nama berhala persatuan dan toleransi beragama, Islam dimarginalkan. Politik Namrudisme dipakai oleh Soekarno-Hatta untuk menelikung tokoh-tokoh Islam dikala itu. Sehingga perjuangan umat Islam, bahkan jauh sebelum kemerdekaan, menjadi tersingkir dan diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Terkait hal ini, kita mendapatkan penjelasan historis melalui lisan pimpinan Masyumi, Mr. Kasman Singodimejo.
Dalam sidang Konstituante, Kasman mengungkapkan kegigihan pimpinan Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam Piagam Jakarta.
“Saudara Ketua, saya masih ingat bagaimana gigihnya almarhum Bagus Hadikusumo, sebagai anggota PPKI, mempertahankan syariat Islam dimasukan ke dalam Mukadimah UUD 1945. Begitu gigihnya, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta tidak dapat mengatasinya, sampai-sampai keduanya minta bantuan Mr. Teuku Muhammad Hasan untuk menenteramkannya. Hanya dengan jaminan janji 6 bulan lagi setelah Agustus ’45 akan dibentuk MPR dan Mejelis pembuat UUD baru untuk memasukan materi Islam dalam UUD. Beliau bersabar menanti, sampai wafatnya. Dan kami sebagai anggota konstituante menuntut janji yang telah diikrarkan dalam sidang PPKI itu,” ungkap Mr. Kasman Singodimejo.
Namun, kembali umat Islam dikhianati kaum nasionalis sekuler. Konsep Namrud, dengan slogan “mawaddatan bainakum” demi menjalin persatuan dan kesatuan diantara anak bangsa, juga digunakan oleh orang kafir untuk menjegal umat Islam. Bukan saja untuk menolak syariat Islam, bahkan untuk melikwidasi syarat menjadi Presiden Indonesia. Semula Capres Indonesia, harus pribumi atau warga negara Indonesia asli. Setelah amandemen UUD 45, kata asli dihapus, hanya WN Indonesia, sehingga warga peranakan juga boleh mencalonkan diri sebagai Presiden RI.
Orang-orang kafir mengatakan, “jika hanya syariat Islam, itu hanya untuk orang Islam saja. Negara kita heterogen, bukan homogen, karena itu kami menolak syariat Islam.”
Akhirnya, demi berhala persatuan dan toleransi, orang-orang kafir dan jahat boleh bebas bicara, sedang umat Islam diam dan dibungkam. Namrud selalu menonjolkan slogan persatuan, tapi sikap politiknya terhadap Nabi Ibrahim diskriminatif. Jika jujur dan adil, semestinya Nabi Ibrahim bebas menyerukan keyakinannya tanpa diintimidasi, tapi faktanya dia disakiti, dilarang menyampaikan dakwahnya.
Sikap politik diskriminatif, ini juga terjadi di Indonesia. Soekarno dan kemudian Soeharto bukannya membebaskan umat Islam dan memberi peluang berlakunya Syariat Islam, malkah membuat ideologi Nasakom dan Asas tunggal Pancasila, ideologi yang sama sekali tidak pernah menjadi kesepakatan nasional. Dan anehnya, yang berani menentang pengkhiatan Bung Karno hanya Masyumi. Sedangkan Partai Islam lainnya, bukannya meminta Soekarno supaya bertobat, malah mereka memusuhi perjuangan penegakan syariat Islam. Sebaliknya mendukung dan mnenguatkan pengkhianatan rezim Soekarno.
Sejak dulu, ulama memang sumber malapetaka dan kesesatan umat. Penyimpangan Yahudi dan Kristen dari Taurat dan Injil, itu kerjaannya pendeta bukan kerjaan petani atau tukang becak. Begitupun, munculnya paham sesat di kalang umat Islam, menyimpang dari Alqur’an, bukan ulah orang bodoh, tapi ulama. Yang buat kesesatan Islam Nusantara, ya ulama. Ulama juga, jauh-jauh datang dari Al Azhar, Mesir, menganggap kafir Syiah sebagai saudara Muslim.
Mengapa segala ini terjadi? Mengutamakan toleransi dan persatuan, tapi dengan menjegal Islam, sehingga tidak boleh berperan optimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensi akidahnya luar biasa, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.: “Wahai Muhammad, demi Tuhanmu, orang-orang yang mengaku beriman itu tidak dapat begitu saja dikatakan beriman sehingga mereka mau mengikuti syari’at kamu dalam menyelesaikan perselisihan di antara mereka, mereka mau menerima keputusanmu tanpa keberatan, dan mereka mengikuti keputusanmu dengan sepenuh hati. (QS An-Nisaa’ (4) : 65)
Ayat ini menjadi hakim bagi segala pendapat yang menolak syariat Islam. Sikap mengunggulkan persatuan, dengan meninggalkan syariat Islam, bukanlah sikap yang benar menurut Islam. Karena itu kita mesti mengoreksi iman kita, apakah kita benar-benar orang beriman atau hanya sekadar klaim saja?
Kini persatuan dan toleransi telah menjadi berhala gaya baru, yang melumpuhkan kecerdasan intelektual kaum Muslimin dalam memahami kebenaran Islam. Keteguhan hati sebagai pejuang kebenaran, manusia sekaliber Ki Bagus Hadikusumo pun mampu dikalahkan oleh tawaran menggiurkan, yang menggoda dan menjinakkan: demi persatuan dan toleransi beragama.
Bagaimana dengan umat Islam hari ini? Harus ada keberanian melawan Neo Namrudisme, yang sabar dan istiqamah, memperjuangkan tegaknya syariat Islam di lembaga negara, tanpa mengabaikan persatuan, perdamaian dan toleransi.
Serial Kajian Malam Jum’at, 17 Maret 2016, di Masjid Raya Ar Rasul, Yogyakarta.
Narsum: Amir Majelis Mujahidin, Al Ustadz Muhammad Thalib.
Notulen: Irfan S Awwas.
(*/arrahmah.com)