Mereka menuntut dalam jangka waktu 7×24 jam sejak somasi dibacakan untuk membatalkan rencana pembelian pesawat kepresidenan dan menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh rakyat.
Menurut ketua eksekutif IHCS, Gunawan, pemerintah telah lalai melakukan kewajibannya.
“Untuk soal APBN kontitusi RI UUD 45 menekankan bahwa APBN dipertanggungjawabkan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah telah lalai melaksanakan kewajibannya yang diatur dalam UUD 1945, UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 2 tahun 2008 tentang parpol, dan UU Nomor 22 tahun 2003 susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Inpres No. 7 tahun 2010 tentang penghematan belanja kementerian/lembaga tahun 2011,” ungkapnya.
Menurut Gunawan, pembelian pesawat menggunakan dana hutang, akan semakin membebani negara. “Pembelian pesawat dengan mekanisme hutang pasti akan membawa dampak pada APBN, karena nanti dibebani cicilan luar negeri,” tambahnya.
“Apabila dalam tenggat itu tidak ada iktikad Presiden dan DPR melaksanakan somasi, koalisi akan mengajukan upaya hukum di pengadilan negeri,” ujar Uchok. Gugatan itu berupa gugatan warga negara (citizen law suit) dan hak gugat organisasi (legal standing) terhadap Presiden dan DPR.
Koalisi menilai uang senilai Rp921 miliar ini seharusnya bisa digunakan untuk membangun 9.121 rumah sederhana, atau untuk penyediaan jaminan kesehatan masyarakat sebanyak 11.060.969 penduduk miskin. Dana sejumlah itu juga bisa untuk memperbaiki 4.560 sekolah.
Selain soal anggaran, Koalisi menilai pembelian pesawat kepresidenan juga tidak berhasil mendorong tumbuhnya industri dalam negeri. Ketimbang membeli, koalisi menilai pemerintah lebih baik tetap menyewa pesawat Garuda saja. Alasannya, menyewa pesawat Garuda tidak akan merugikan keuangan negara karena sebagai BUMN pemasukan Garuda akan terhitung sebagai penerimaan negara. Menyewa pesawat akan mengurangi biaya untuk pemeliharaan. Selain itu membeli Boeing menunjukkan pemerintah tidak menghargai industri nasional perakitan pesawat melalui PT Dirgantara Indonesia.