KAIRO (Arrahmah.com) – Muhammad Mukhtar Juma, Menteri Wakaf Islam rezim kudeta Mesir, telah melarang seorang ulama dan qari’ Al-Quran terkenal, Syaikh Muhammad Jibril untuk menjadi imam masjid di Mesir, sebagaimana dilansir oleh situs Al-Araby, Rabu (15/7/2015).
Pada malam 27 Ramadhan – ketika Al-Quran pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad (Shallahu ‘Alaihi Wasallam)- Syaikh Muhammad Jibril berdoa kepada Allah pada saat shalat Tarawih untuk menghukum “para penguasa yang zhalim, para politisi dan wartawan yang rusak, para ‘ulama’ yang membela rezim yang zalim, dan media yang menyesatkan”, di Masjid Masjid Amru bin Ash di Kairo. Dia juga berdoa bagi anak-anak muda yang ditahan oleh rezim kudeta Mesir.
Syaikh Jibril juga berdoa untuk kebaikan keluarga para tahanan, syuhada, orang yang dikejar-kejar dan terbuang ke negara lain.
Sementara itu, jamaah tarawih mengamini seluruh doa tersebut, diiringi dengan isak tangis kekhusyukan.
Syaikh Muhammad Jibril, lulusan Universitas Al-Azhar di Mesir dalam bidang hukum Syariah, menjadi imam tarawih selama Ramadhan Masjid Amru Bin Ash di Kairo sejak tahun 1988. Namun demikian, banyak dari popularitasnya diperoleh sebagai salah satu qari’ yang terkenal.
Dalam sebuah wawancara telepon saat talk show di saluran televisi lokal, menteri Juma mengatakan bahwa Syaikh Jibril telah ikut campur dalam urusan politik, dan akan dilarang untuk menjadi imam atau berkhutbah di semua masjid di Mesir dan akan diadili.
Kementerian itu juga berencana meminta kepada negara-negara Arab untuk mencekal perjalanan Syaikh Jibril dan melarang dia memberi khutbah di masjid-masjid mereka.
Menteri itu mengatakan bahwa Syaikh Jibril adalah “sosok bersemangat yang dikenal bisa memanipulasi emosi orang.”
Dilaporkan pada Rabu (15/7) bahwa Syaikh Muhammad Jibril bermaksud untuk melakukan perjalanan dari Mesir menuju London, tapi dicekal di bandara Kairo.
Pencekalan Syaikh Jibrill itu menunjukkan semakin meningkatkan ketegangan antara pemerintah dan pemuka agama di Mesir, walaupun mereka bukan berasal dari Ikhwanul Muslimin.
Ketegangan dengan al-Azhar
Juga pada malam 27 Ramadhan, Presiden rezim kudeta Mesir Abdul Fattah al-Sisi menuduh Imam Besar Al-Azhar Ahmad al-Tayib, telah gagal untuk mengembangkan “wacana beragama” di Mesir.
“Anda adalah salah satu yang bertanggung jawab untuk wacana keagamaan, dan Allah akan bertanya kepada saya apakah saya puas [dengan kinerja Anda] atau tidak,” kata al-Sisi.
“Peran ulama tidak memberikan pidato di masjid-masjid, tapi untuk menyebarkan perdamaian di antara ummat manusia,” katanya.
Komentarnya muncul setelah pertemuan tokoh-tokoh al-Azhar, termasuk Syaikh al-Tayib, untuk membahas perkembangan “wacana beragama” ini.
“Kami harus berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan dan konsep yang kita butuhkan dalam masyarakat kita, seperti toleransi dan keadilan sosial,” kata Tayeb setelah pertemuan yang digelar pekan lalu.
“Ada sebuah plot terhadap Islam dan masa depan Mesir, yang bertujuan untuk mengacaukan negara dan rakyatnya …” katanya.
Hisham Abdul Aziz, Ketua Umum Partai Reformasi dan Kebangkitan, mengatakan bahwa pamflet dan buku yang menguraikan tentang “wacana beragama” ini didistribusikan pada malam itu.
Namun, dalam komentar Sisi yang gamblang itu akan muncul persepsi bahwa Presiden tidak puas dengan upaya al-Tayib untuk mengubah “wacana beragama” di Mesir.
Ini merupakan perkembangan yang mungkin menunjukkan meningkatnya ketegangan antara tokoh agama pro-rezim dan pemerintah. Hubungan pemerintah Mesir dengan al-Azhar telah lama kompleks.
Sejak rezim Jamal Abdul Nasr, al-Azhar berada di bawah kontrol negara dengan sebagian besar pemimpin dan ulama al-Azhar ditunjuk oleh pemerintah; Ahmad al-Tayib sendiri ditunjuk oleh mantan Presiden Mubarak dan mendukung kudeta militer Sisi.
Di sisi lain, banyak mahasiswa al-Azhar yang mendukung mantan presiden Muhammad Mursi, dimana para mahasiswa ini memegang peranan besar dalam demontrasi setelah kudeta militer pada tahun 2013.
Negara Mesir juga melakukan tindakan kerasa terhadap kegiatan keagamaan selama bulan suci Ramadhan.
Mukhtar Juma, mengumumkan pada bulan lalu bahwa kementerian wakaf akan meningkatkan pemantauan masjid-masjid untuk pidato yang berpotensi subversif, serta sangat membatasi waktu shalat malam.
Shalat tarawih dilakukan sepanjang bulan Ramadhan dan serta i’tikaf selama 10 malam terakhir di bulan Ramadhan, ketika beberapa orang menghabiskan malam di masjid.
Berdasarkan pembatasan baru itu, di Kairo hanya ada 247 masjid yang diizinkan untuk mengadakan i’tikaf, dan sebanyak 196 yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih.
Bulan lalu menteri Mukhtar Juma juga menginstruksikan kepada masjid-masjid untuk membuang buku-buku yang ditulis oleh Hassan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin abad ke-20, dan “buku radikal” lainnya, termasuk juga buku-buku yang ditulis oleh anggota Ikhwanul Muslimin.
(ameera/arrahmah.com)