KABUL (Arrahmah.id) — Dalam beberapa bulan terakhir, Taliban atau Imarah Islam Afghanistan (IIA) telah mengumpulkan ratusan orang dari seluruh kota, mulai dari jembatan, taman, hingga puncak bukit. Sebagian besar dari mereka dibawa ke bekas pangkalan militer amerika Serikat (AS), yang telah diubah menjadi pusat rehabilitasi darurat untuk ketergantungan obat-obatan.
Dilansir BBC (4/4/2023), angka kecanduan narkoba di Afghanistan tergolong sebagai salah satu yang tertinggi di dunia. Diperkirakan sebanyak 3,5 juta orang – dari total 40 juta populasinya – kecanduan, menurut Biro Narkotika Internasional dan Penegakan Hukum.
Jenis narkoba yang mereka konsumsi adalah heroin atau methamphetamine.
Di bawah jembatan Pul-e-Sukhta, ratusan laki-laki kerap terlihat berjongkok di antara tumpukan sampah, jarum suntik, kotoran, dan terkadang mayat orang yang meninggal akibat overdosis.
Bau busuk di kolong jembatan ini sangat menyengat. Kawanan anjing tampak mengaduk-aduk tumpukan sampah, mencari sisa-sisa makanan.
Di atas jembatan, lalu lintas hilir-mudik, pedagang kaki lima menjajakan dagangannya, dan para komuter bergegas mengejar bus di depo lokal.
“Saya sedang mencoba membeli beberapa obat di kolong jembatan ketika saya ditarik dari belakang. Orang itu adalah anggota Taliban. Mereka datang untuk membawa kami,” ungkap Mohammed Omar mengenang saat-saat ketika tentara IIA tiba-tiba muncul di jembatan Pul-e-Sukhta.
Jauh sebelum IIA kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021, kawasan tersebut dikenal sebagai tempat para pecandu narkoba berkumpul.
“Saya pergi ke sana untuk bertemu teman-teman saya dan mengonsumsi obat. Saya tidak takut mati. Ajal ada di tangan Tuhan,” kata Omar.
Mayoritas orang-orang yang menganggap tempat ini sebagai rumah telah terlupakan, terlepas dari kebijakan pemerintah sebelumnya untuk mengumpulkan para pecandu dan menempatkan mereka di pusat rehabilitasi.
Begitu Taliban berkuasa, kampanye antinarkoba di Afghanistan lebih agresif. Para pecandu di pinggir jalan dicambuk dan dipukuli.
“Jari saya patah karena saya tidak ingin meninggalkan jembatan dan saya melawan. Mereka tetap memaksa kami keluar.”
Omar kemudian didorong ke dalam bus bersama puluhan orang lainnya.
Rekaman dari kejadian itu kemudian dirilis oleh pemerintahan IIA. Tayangan video menunjukkan bagaimana tentara IIA membersihkan kawasan pecandu yang meninggal karena overdosis. Jenazah mereka dibawa dengan syal abu-abu gelap. Yang masih hidup, digotong menggunakan tandu karena tidak sadarkan diri.
Rumah sakit rehabilitasi tempat Omar dirawat memiliki 1.000 tempat tidur, namun kini menampung hingga 3.000 pasien.
Kondisinya kumuh. Orang-orang itu ditahan di pusat rehabilitasi tersebut selama sekitar 45 hari, di mana mereka menjalani program intensif sebelum dibebaskan.
Sementara mereka yang disingkirkan dari jalanan sebagian besar adalah laki-laki. Beberapa perempuan dan anak-anak juga dibawa ke pusat rehabilitasi khusus.
Omar, seperti pecandu lainnya, sangat kurus. Pakaian cokelatnya yang diberikan oleh pihak berwenang, tampak longgar. Wajahnya juga tirus.
Sambil duduk di tepi tempat tidurnya, dia menggambarkan kehidupan yang pernah dia jalani.
“Suatu hari saya berada di Dubai, besoknya di Turki dan terkadang Iran. Saya berkeliling dunia sebagai pramugara dengan Kam Air. Kami sering kedatangan tamu VIP seperti mantan presiden di pesawat.”
Dia kehilangan pekerjaannya ketika Kabul jatuh ke tangan IIA. Menghadapi kesulitan ekonomi dan masa depan yang tidak pasti, dia terjerumus menggunakan narkoba.
Sejak datang ke pusat rehabilitasi, Omar bertekad untuk sembuh.
“Saya ingin menikah, berkeluarga, dan hidup normal,” kata dia.
“Dokter-dokter ini sangat baik. Mereka mencoba yang terbaik untuk membantu kami.”
Bagi para dokter di pusat rehabilitasi, ini adalah operasi yang sangat terbatas. IIA terus mengirimkan lebih banyak orang untuk direhabilitasi, sementara para staf kesulitan menemukan ruang untuk mereka.
“Kami butuh bantuan. Komunitas internasional telah pergi dan menghentikan bantuan mereka. Tapi masalah kami belum selesai,” kata seorang dokter.
“Ada banyak profesional di antara para pecandu ini. Orang-orang pintar dan terpelajar yang pernah memiliki kehidupan yang baik. Tetapi karena kesulitan yang dihadapi masyarakat kami, kemiskinan dan kurangnya pekerjaan membuat mereka mencari pelarian.”
Meskipun penuh sesak dan kekurangan sumber daya, para dokter tetap berkomitmen untuk melakukan segala yang mereka bisa demi membantu para pecandu ini. (hanoum/arrahmah.id)