JAKARTA (Arrahmah.com) – Mengutip laporan The Global Journal dalam intriknews.com, Sabtu (4/10/2014), peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan bahwa presiden terpilih Joko Widodo harus berani menertibkan peraturan daerah yang diskriminatif.
Secara khusus Andreas menyoroti aturan yang diterbitkan di Aceh selaku daerah otonomi khusus. “Jokowi wajib mengarahkan Menteri Dalam Negeri untuk meninjau peraturaen daerah yang bersifat diskriminatif dengan maksud untuk merevisi atau menghapusnya,” ujar Andreas di Jakarta, Jumat (3/10/2014).
Padahal, Andreas menyadari bahwa tahun 1999, Aceh secara sah menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara hukum dapat mengadopsi peraturan yang berasal dari hukum Islam atau syariat. Dengan demikian, hal tersebut bukanlah sesuatu yang diskriminatif, sebab syari’at Islam bersika adil kepada semua manusia, baik yang Muslim ataupun yang non-Muslim.
Namun, Andreas memojokkan Parlemen Aceh bahwa mereka hanya bertugas merancang peraturan daerah Islam, bukan membuat hukum pidana Islam. Psaat ini, peraturan ini berlaku tidak hanya untuk penduduk mayoritas muslim di Aceh, tapi juga sekitar 90.000 penduduk nonmuslim, terutama Kristen dan Buddha, serta wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Aceh.
Lebih jauh lagi, dia mengatakan, parlemen Aceh pada 27 September menyetujui prinsip peraturan daerah Islam dan hukum pidana Islam (Qanun Jinayah). Menurut Andreas, aturan itu bisa mengkriminalisasi hubungan sesama jenis serta semua tindakan zina atau hubungan seksual di luar pernikahan. Na’udzubillahi min dzalik.
“Hubungan sesama jenis di Aceh akan diganjar oleh hukuman 100 cambukan dan 100 bulan penjara, sedangkan zina dikenakan hukuman 100 kali cambukan,” kata Andreas.
Hukuman itu, Andreas menambahkan, menyangkal hak dasar warga Aceh untuk berekspresi, memiliki privasi, dan menjalankan kebebasan beragama. Kriminalisasi hubungan sesama jenis merupakan langkah mundur yang besar, sehingga pemerintah Indonesia yang baru harus mengutuk dan mencabut aturan itu, ujarnya.
“Hukuman cambuk tak relevan lagi dan harusnya sudah ditinggalkan sejak abad pertengahan lampau,” klaimnya.
Human Rights Watch menurut Andreas, mendesak DPRD Aceh mencabut dua undang-undang yang baru saja disahkan. Sedangkan Gubernur Aceh Zaini Abdullah harus menghentikan sepak terjang polisi syariat yang menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan kejahatan versi hukum syariat.”Orang-orang di Aceh harus menikmati hak dan kebebasan yang sama seperti semua orang Indonesia,” pungkasnya. (adibahasan/arrahmah.com)