Pakistan (armnews) – Bentrokan antara warga Sunni dan Syiah di bagian baratdaya Pakistan menewaskan 61 orang, kata sumber-sumber keamanan dan media pemerintah, Ahad (18/11) kemarin.
Televisi Pemerintah Pakistan mengatakan, 150 orang lainnya cidera dalam antara kedua pihak di Kurran, distrik yang berbatasan dengan Afghanistan.
Para saksi mata mengatakan, bentrokan itu berlangsung hingga tengah malam di Parachinar sejak Jumat lalu.
Para pejabat keamanan yang tidak disebut identitasnya mengatakan, sedikitnya 61 orang tewas dalam bentrokan paling akhir di Parachinar, lebih besar dibandingkan aksi kekerasan serupa pada April lalu menewaskan 55 orang.
Para gerilyawan dari suku Turi yang didominasi Syiah dan suku Mengal yang Sunni saling berkejaran di bukit-bukit Parachinar dengan menggunakan senjata ringan dan berat, kata para saksi mata.
Kedua pihak saling mengepung dan bakutembak satu sama lain, kata seorang warga yang tidak disebutkan namanya.
Saya akan memberikan jumlah pasti para korban tewas dalam pertempuran yang masih berlangsung. Kemaren malam, kami melihat 45 orang tewas dan 90 orang lainnya cidera, kata pemimpin pemerintahan lokal, Fakhre Alam, kepada AFP.
Jumlah tewas mungkin meningkat karena kedua pihak menggunakan senjata berat, katanya dan menambahkan, pihak keamanan sedang mencoba menguasai keadaan.
Warga, saksi mata dan media pemerintah menyebut pada Sabtu bahwa korban tewas 30 orang pada petang harinya.
Jumlah warga Syiah sekitar 20 persen dari 160 juta penduduk Pakistan yang mayoritas Sunni, namun mayoritas Syiah di Parachinar.
Desakan AS
Sementara itu, diplomat nomor dua AS, Ahad mendesak Presiden Pervez Musharraf mengakhiri keadaan darurat di Pakistan sebelum Pemilu mendatang dan memulai kembali perundingan dengan pihak oposisi.
John Negroponte mengatakan, rakyat Pakistan sepantasnya lebih baik ketimbang keadaan darurat yang tidak cocok untuk menyelenggarakan Pemilu yang bebas dan jujur.
Deputi Menlu AS itu mengunjungi Islamabad di tengah-tengah kekuatiran AS yang meningkat atas situasi di Pakistan, sekutu utama AS dalam perang terhadap teror yang krisis politik negara itu menimbulkan kegelisahan di Washington.
Ia bertemu dengan Musharraf dan para pejabat penting lainnya dan juga berbicara melalui telepon dengan pemimpin oposisi dan mantan PM Benazir Bhutto.
Berbicara dengan wartawan sebelum bertolak, Negroponte yang mengatakan terlalu cepat untuk berbicara apakah diplomasinya sukses atau gagal, mengakui situasi agak rumit dengan Benazir dikenakan tahanan rumah dua kali dalam 10 hari.
Ia mendesak Musharraf mencabut keadaan darurat yang diberlakukan dua pekan lalu, membebaskan ribuan tahanan politik dan mencabut pengekangan ketat terhadap media di mana jaringan-jaringan televisi swasta ditutup.
Kami kira tindakan-tindakan darurat seperti ini tidak cocok dengan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pemilu yang bebas dan jujur, katanya.
Negroponte mengatakan Musharraf mengulang kembali ikrarnya untuk mengundurkan diri sebagai pangima militer sebelum memangku tugas sebagai presiden untuk masa jabatan kedua.
Tetapi tidak ada indikasi bagi tanggal diakhirinya keadaan darurat, di mana penguasa militer itu mengisyaratkan akan tetap diberlakukan untuk menghadapi pemilu 9 Janauri.
Negroponte mendesak Musharraf dan Benazir memulai kembali perundingan pembagian kekuasaan yang telah mereka selenggarakan sebelum keadaan darurat itu, yang Washington anggap sebagai satu kubu moderat menghadapi ekstrimisme.
Para diplomat mengatakan Negroponte memperingatkan Musharraf bahwa Washington akan meninjau bantuan militer kecuali keadaan darurat diakhiri, tetapi ia tidak memberikan rincian.
Pemimpin Pakistan itu, yang merebut kekuasaan dalam satu kudeta tahun 1999, bersikeras bahwa ia mempunyai hak untuk memberlakukan tindakan-tindakan itu karena kegiatan kelompok garis keras Islam yang meningkat dan campurtangan pengadilan dalam pemerintah.
Sumber: Hidayatullah