TRIPOLI (Arrahmah.com) – Pertempuran antar suku di Libya barat dan selatan kembali terjadi dan menewaskan sekurangnya 15 orang selama 48 jam, kantor berita resmi Libya menyatakan pada Rabu (13/6/2012).
Kekerasan ini telah menyebabkan penguasa transisi di negara itu, Mustafa Abdul Jalil, mendesak kelompok milisi bersenjata untuk meletakkan senjata mereka dan bersatu sebelum pemilu di negara itu terselenggara bulan depan, dimana rakyat Libya harus memilih 200 anggota untuk membentuk pemerintahan dan mengawasi pembuatan konstitusi baru.
“Setiap orang harus bersatu untuk membangun lembaga negara, hukum, dan keadilan,” kata Abdul-Jalil pada Selasa malam (12/6), “untuk mengatasi penderitaan ini dan mencapai impian kita dan impian semua warga Libya, yakni pemilu yang bebas dan adil yang akan menjadi tonggak sebenarnya dalam sejarah Libya.”
Seruan Abdul Jalil itu dipandang sebagai contoh lain dari kelemahan yang telah menjangkiti kepemimpinan negara tersebut sejak Libya dinyatakan kembali merdeka pada Oktober tahun lalu setelah menumbangkan Gaddafi. Sejak itu, Abdul Jalil telah menyeru milisi bersenjata yang berjuang untuk melawan Gadhafi agar mengintegrasikan diri di bawah tentara nasional dan menyerahkan senjata mereka, tetapi seruan tersebut nampaknya tidak digubris.
Pada hari Rabu, puluhan warga Libya menggelar protes di timur kota Benghazi menyatakan kekecewaan mereka terhadap situasi keamanan Libya dan menuntut untuk membubarkan kelompok milisi dan mengintegrasikan mereka ke dalam tentara, menurut kantor berita Libya, LANA.
Mereka mengangkat spanduk bertuliskan, “ya untuk keamanan dan keselamatan, tidak untuk senjata dan kekacauan,” lansir LANA.
Negara ini dibanjiri dengan senjata yang disita oleh warga sipil yang berubah menjadi pejuang selama pemberontakan berlangsung tahun lalu.
Mantan pemberontak dan milisi sering terlibat dalam bentrokan bersenjata dengan suku-suku saingan serta kelompok bersenjata lainnya. (althaf/arrahmah.com)