DERNA (Arrahmah.id) – Proses pengambilan jenazah yang terdampar di pantai Derna terus berlanjut, seiring dengan meningkatnya jumlah korban tewas.
Menurut Bulan Sabit Merah Libya, lebih dari 11.300 orang kini dipastikan tewas setelah Badai Daniel menghantam kota Libya timur pada Ahad (10/9/2023) dan Senin (11/9), yang menyebabkan runtuhnya dua bendungan, yang jebol dan mengeluarkan aliran air melalui dasar sungai yang kering dan menuju ke kota.
Walikota Derna mengatakan jumlah korban tewas bisa lebih tinggi – hingga 20.000 orang – mengingat seluruh wilayah hanyut ke laut.
Air yang mengalir ke Derna digambarkan seperti tsunami besar.
Namun meski banyak orang, khususnya beberapa politisi Libya, menggambarkan apa yang terjadi sebagai akibat bencana alam saja, para ahli mengatakan bahwa korupsi, buruknya pemeliharaan infrastruktur publik – dan pertikaian politik selama bertahun-tahun, dengan Libya terpecah menjadi dua pemerintahan yang bersaing – telah membuat banyak orang menjadi tidak berdaya dan negara tidak siap menghadapi peristiwa seperti Badai Daniel.
“Keadaan gejolak secara umum juga berarti banyak perselisihan mengenai alokasi dana,” kata Claudia Gazzzini, analis senior International Crisis Group untuk Libya. Selama tiga tahun terakhir tidak ada anggaran pembangunan, yang mana dana untuk infrastruktur seharusnya dicurahkan, dan tidak ada alokasi untuk proyek-proyek jangka panjang, kata Gazzini.
“Dan tidak satupun dari kedua pemerintahan tersebut yang cukup sah untuk membuat rencana besar, sesuatu yang membatasi fokus pada infrastruktur,” tambahnya.
Pasukan militer yang mendukung pemerintah saingan Libya – yang diakui secara internasional berbasis di Tripoli di barat dan yang berbasis di Benghazi di timur didukung oleh parlemen negara tersebut – telah berperang beberapa kali sejak 2014, dan pemerintahan tersebut gagal menyelenggarakan pemilihan presiden yang direncanakan pada 2021.
Contoh nyata dari kurangnya investasi publik adalah bendungan di Derna, yang mengalami kerusakan parah.
Berbicara kepada Al Jazeera pada Selasa (12/9), Wakil Walikota Derna Ahmed Madroud mengatakan bahwa bendungan tersebut tidak dirawat dengan baik sejak 2002. Hal ini berarti bahwa pemerintahan diktator lama Libya, Muammar Gaddafi, dan pemerintahan yang muncul setelah ia digulingkan dalam revolusi di Libya 2011, telah gagal menjamin pemeliharaan infrastruktur penting.
Tahun lalu, sebuah makalah dari para peneliti di Universitas Omar Al-Mukhtar memperingatkan bahwa kedua bendungan tersebut memerlukan perhatian segera, dan menunjukkan bahwa terdapat “potensi risiko banjir yang tinggi”. Namun tidak ada tindakan yang diambil.
Siklus kekerasan
Kehancuran yang disebabkan oleh banjir adalah tragedi terbaru bagi Derna – sebuah kota berpenduduk sekitar 90.000 jiwa, yang secara tradisional dikenal sebagai ibu kota budaya negara tersebut, sebelum kelompok seperti ISIL (ISIS) mengambil alih wilayah tersebut pada 2014, sampai mereka diusir pada tahun berikutnya.
Tiga tahun kemudian, jenderal pemberontak Khalifa Haftar, yang dipandang sebagai otoritas utama di Libya timur, mengambil kendali Derna – yang masih menjadi kantong wilayah terakhir di timur yang menolak pemerintahannya – setelah pengepungan brutal selama dua tahun. Kota ini terkoyak oleh pemboman intensif dan pertempuran darat yang sengit.
Siklus kekerasan selama bertahun-tahun telah meninggalkan bekas, karena pihak berwenang tidak berinvestasi dalam program pembangunan kembali secara besar-besaran.
“Satu-satunya rumah sakit yang berfungsi di Derna saat ini adalah vila sewaan yang memiliki lima kamar tidur,” kata Hani Shennib, presiden Dewan Nasional Hubungan Libya AS dan sering berkunjung ke kota tersebut.
“Ini bukanlah hal baru. Hal ini telah berlangsung selama 42 tahun. Hal ini telah menyebabkan keterasingan dan kekacauan politik sejak zaman Gaddafi. Setiap menteri kesehatan dan perdana menteri akan mampir ke Derna, membuat pernyataan tentang dukungan terhadap kota tersebut dan kemudian mengabaikannya sepenuhnya,” tambahnya.
“Erosi pada bendungan di Derna bukanlah hal baru. Sudah berulang kali dilaporkan, termasuk di jurnal ilmiah mulai 2011 dan seterusnya,” imbuhnya. “Tidak ada pejabat yang memperhatikan hal itu.”
Korupsi yang mahal
Banyak pihak yang menyalahkan pihak berwenang setempat, yang dituduh lalai dalam merencanakan bencana tersebut.
Pada Sabtu (9/9), sehari sebelum badai datang, Dewan Kota Derna mengunggah pesan di Facebook yang memberlakukan jam malam sambil meminta warga untuk mengevakuasi hanya daerah yang berdekatan dengan pantai. Pada Senin (10/9), mereka menyebut situasi ini sebagai “bencana besar” dan meminta bantuan internasional yang mendesak.
Berbicara kepada Al Arabiya pada Rabu (13/9), Walikota Derna Abdulmenam al-Ghaithi menolak kritik terhadap tindakan pihak berwenang, dengan mengatakan bahwa mereka telah “melakukan semua tindakan pencegahan” yang diperlukan, dan memberi tahu penduduk setempat. Namun banyak yang tidak setuju.
“Otoritas timur di Derna memikul tanggung jawab atas keputusan mereka,” kata Anas El Gomati, pendiri dan direktur Sadeq Institute. “Kelambanan mereka untuk bertindak meskipun ada ancaman nyata telah menyebabkan ribuan nyawa melayang, padahal hal tersebut bisa saja mengakibatkan hilangnya blok-blok kayu dan kantong-kantong semen.”
Namun masalahnya bukan hanya terjadi di pemerintahan daerah, melainkan karena korupsi selama bertahun-tahun dan pembongkaran infrastruktur publik, kata El Gomati.
“Pengabaian terhadap infrastruktur penting Libya dan pemeliharaannya merupakan faktor utama penyebab jebolnya bendungan dan tenggelamnya kota tersebut,” tambahnya. “Korupsi dan salah urus keuangan adalah penyebab di balik kegagalan infrastruktur yang telah melanda Libya selama beberapa dekade, namun rezim-rezim berikutnya yang bersalah, dan otoritas investasi militerlah yang telah mengkanibal infrastruktur publik Libya di wilayah timur, menghancurkannya untuk diselundupkan dan dijual sebagai besi tua.” (zarahamala/arrahmah.id)