JAKARTA (Arrahmah.com) – Film Soegija menjadi propaganda seolah-olah hanya Uskup Soegijopranoto yang gigih berjuang melawan Jepang.
“Film Soegija mengandung misi dan visi bahwa di negeri ini ada uskup yang pernah mengusir tentara Jepang. Padahal, dalam benak publik bisa jadi tidak ada uskup yang benar-benar berjuang,” kata Direktur Lembaga Kajian Syariat Islam (LKSI), Fauzan Al Anshari seperti dirilis situs iToday, Kamis (7/6/2012).
“Film Soegija ini menampilkan pejuang masa lalu. Namun dari sisi validitas kejadian sebenarnya masih perlu dipertanyakan. Belum ada film kisah nyata yang benar-benar valid. Bangsa Indonesia juga harus mengenal sosok Imam Bonjol atau Pengeran Diponegoro,” ungkap Fauzan.
Menurut Fauzan, film Soegija harus menjadi cambuk bagi semua pihak untuk membuat film yang lebih otentik, sehingga umat Islam bangga dengan nenek moyangnya yang gigih berjuang melawan Belanda. “Film ini harus memicu sutradara Muslim supaya mengambil sejarah film tokoh-tokoh Islam,” tegas Fauzan.
Fauzan menegaskan, film-film tokoh Islam yang berjuang melawan penjajah akan menjadi penyeimbang dari film-film tokoh non Islam. “RA Kartini tidak pernah berperang dengan Belanda. Tetapi RA Kartini justru menjadi idola wanita Indonesia. Ini tidak adil. Cut Nyak Dien yang mengorbankan jiwa dan raga untuk mengusir Belanda, mengapa tidak menjadi idola bagi wanita Indonesia,” ungkap Fauzan.
Siapa sesungguhnya Uskup Soegija?
Berdasarkan catatan di Wikipedia, Soegija atau nama lengkapnya Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ adalah seorang uskup yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 November 1896. Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.
Sugiyopranoto adalah Vikaris Apostolik Semarang, yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Ia juga merupakan Uskup pribumi Indonesia pertama. SJ di belakang namanya menandakan dia anggota ordo Serikat Yesus (Societas Jesu).
Ia meninggal di Steyl, Venlo, Belanda, 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun. Karena ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963, jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.
Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith, SJ. Sekolah ini pindahan dari sekolah dari Lampersari dari Semarang. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, SJ dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari didikan yang didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi ‘imam’, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci/ Ordo Sanctae Crucis (OSC) di Uden, propinsi Noord-Brabant (Brabant Utara), di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Rute perjalanan ke Belanda mulai dari Tanjung Priok – Muntok – Belawan – Sabang – Singapore – Colombo – Terusan Suez dan terus ke Amsterdam.
Kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, SJ, yang kelak menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia yang pertama. Rentang waktu 1923-1926 ia belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. Sekitar1926-1928 ia kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastricht.
Pada 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastricht. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940.
Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma yang berbunyi: “from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without bulls” dan ditanda tangani oleh Mgr. Montini, yang kelak menjadi Paus Paulus VI. Setelah menerima penyampaian telegram dari Roma melalui Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, lalu Soegijapranata pun menjawab: “Thanks to his holiness begs benediction”.
Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. AJE Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).
Pada tahun 1943, bersama Mgr. Willekens, SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.
Jadi, dimana perlawanan Soegija terhadap penjajah, baik Belanda maupun Jepang?. Sementara yang dicatat Wikipedia hanya kalimat, “Pada tahun 1943, bersama Mgr. Willekens, SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.”
Bandingkan dengan pahlawan-pahlawan Islam, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Agus Salim, Jenderal Soedirman, Muhammad Natsir, dan sebagainya yang mereka ‘berdarah-darah’ dalam berjuang, baik secara fisik maupun diplomatis dalam melawan penjajah. (SI-online/arrahmah.com)