TEL AVIV (Arrahmah.id) – Menteri sayap kanan “Israel” Itamar Ben-Gvir mengatakan dia akan mengabaikan Yordania dan terus menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa.
Ben Gvir memicu badai diplomatik antara “Israel” dan sekutu Arab serta tetangganya ketika politisi ekstremis pembenci Islam itu menyerbu kompleks Al-Aqsa pada awal Januari.
Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu mengunjungi Raja Abdullah di Amman pada Selasa (24/1/2023) untuk meyakinkan raja bahwa status quo di situs suci Yerusalem yang berada di bawah penjagaan Yordania, akan dipertahankan.
Ben Gvir mengatakan bahwa terlepas dari janji yang dibuat Netanyahu kepada raja, dia akan terus menyerang tempat suci tersebut.
“Saya tidak akan menjalankan kebijakan mengenai Temple Mount sesuai dengan kebijakan pemerintah Yordania,” katanya kepada Radio “Israel”, Kan.
“Dengan segala hormat kepada Yordania, “Israel” adalah negara merdeka. Saya naik ke Temple Mount, saya akan terus naik ke Temple Mount. Temple Mount adalah tempat terpenting bagi rakyat “Israel” dan Negara “Israel” adalah negara berdaulat, bukan protektorat negara lain mana pun.”
Kompleks Masjid Al-Aqsa, yang juga dikenal sebagai al-Haram al-Sharif, terletak di dataran tinggi yang oleh orang Yahudi disebut Temple Mount. Bagi orang Yahudi yang religius, Temple Mount adalah situs tersuci dalam Yudaisme.
Menurut studi kitab suci dan arkeologi, situs ini diyakini sebagai situs dua kuil yang pernah menjadi pusat kerajaan Yahudi yang ada pada zaman kuno, tempat di mana Abraham mempersembahkan putranya sebagai korban.
Namun, karena lokasi pasti dari bagian paling suci dari kuil tidak lagi diketahui, sebagian besar rabi setuju bahwa orang Yahudi tidak boleh naik ke Temple Mount.
Ketegangan antara Yordania dan “Israel” telah meningkat sejak pemerintahan baru Netanyahu dilantik, terutama setelah duta besar Yordania untuk “Israel” ditahan oleh polisi “Israel” saat mencoba mengunjungi Al-Aqsa.
Yordania memanggil duta besar “Israel” di Amman untuk memprotes penghalangan di Al-Aqsa, setelah sebelumnya serbuan Ben Gvir di kompleks tersebut telah menambah ketegangan.
UEA menunda kunjungan ke Abu Dhabi dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu setelah penyerbuan tersebut, sementara Yordania dan negara-negara Arab lainnya memprotes “tindakan provokatif”.
“Israel” telah mengirim seorang menteri ke UEA untuk membuka jalan bagi kunjungan Netanyahu bulan depan dan untuk meyakinkan Abu Dhabi tentang menteri sayap kanan dalam koalisi.
Netanyahu bergantung pada para menteri ini untuk menyatukan pemerintahannya, di tengah tuduhan terhadap perdana menteri atas dugaan korupsi.
Negara-negara Barat dan Arab telah menyuarakan keprihatinan tentang kehadiran tokoh sayap kanan dalam pemerintahan “Israel” yang baru, meskipun Ben Gvir dan rekan blok Zionisme Religius Bezalel Smotrich telah bertemu dengan diplomat Emirat di Tel Aviv.
Warga Palestina takut akan pelanggaran hak-hak mereka oleh pemerintah sayap kanan yang baru. (zarahamala/arrahmah.id)