Kajian ini sukses menarik minat puluhan mahasiswa yang antusias mengikuti kegiatan tersebut. Meski diadakan dimalam hari, tak menyurutkan semangat peserta dalam memperluas wawasan mereka seputar jurnalistik.
“Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis” Qoul Imam Al Ghazali
Sebuah pemikiran yang dituturkan oleh Andre Rahmat, Pengurus Wilayah Syabab Hidayatullah Jawa Timur Divisi Informasi dan Hubungan Luar serta Dewan Pengurus PENA (Penulis Muda Nusantara) Jawa Timur.
Melihat fenomena sekarang ini dimana kondisi masyarakat banyak yang belum terliterasi, hal ini cenderung membuat mereka mudah terhasut oleh berita-berita yang belum pasti kebenarannya, khususnya dalam media.
Media di indonesia saat ini masih banyak yang bersifat tidak independen. Seringkali berita yang ditampilkan pada media tidak obyektif dan hanya bersifat untuk kepentingan tertentu saja. Media kita juga sarat akan pemanipulasian data. Dimana fakta selalu ditutupi.
“Cacing Jadi Naga, Naga Jadi Cacing. Dimana kebatilan selalu dibesarkan, sedangkan Kabaikan senantiasa diredupkan” tutur Andre pada Kajian Jurnalistik tersebut.
Media mampu membentuk, memberi fokus, dan mempercepat opini publik, Media juga dapat menciptakan atau menghancurkan, sejatinya media menjadi kekuatan sendiri dalam perubahan sosial
Maka disinilah Jurnalis Muslim berperan. Menjadi penyeimbang media-media mainstream. Membombardir media dengan berita fakta yang layak untuk dikonsumsi masyarakat.
Menjadi Seorang Jurnalis harus memiliki sikap Skeptis atau selalu mempertanyakan segalanya agar suatu berita dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam islam dikenal dengan istilah Tabayun, sebagaimana dijelaskan dalam Qs.Al-Hujurat : 6 “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu”.
Seorang Jurnalis harus cepat bertindak (action). Jurnalis tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul. Melainkan ia akan mencari dan mengamati lingkungannya dengan naluri kewartawannya.
Dia (Jurnalis) juga harus membawa perubahan. Sehingga media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tetapi juga fasilitator, penyaring, dan pemberi makna dari sebuah informasi. Karena perubahan merupakan hukum utama seorang jurnalis.
Berita yang di angkat juga tidak sembarang. Melainkan wajib memiliki nilai-nilai sebuah berita, yakni tidak memihak, actual, luar biasa, dan penting. Dengan mempertimbangkan unsur pokok 5W+1H (Who,What, Where, Why, dan How).
Siapa yang terlibat di dalamnnya ?, Apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut ?, Di mana terjadinya?, Mengapa terjadi?, Kapan peristiwa itu berlangsung?, dan bagaimana terjadinya?. Semuanya harus jelas tanpa ada yang ditutupi. Karena berita tidak bersifat subyektif, melainkan obyektif. Tidak memihak dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
“Sesungguhnya kita dibutuhkan sebagai Jurnalis Muslim untuk menyajiakan berita yang jauh dari hoax, mengedepankan fakta, dan berpacu pada kebenaran. Yang terpenting menjadi seorang jurnalis adalah action” pesan Andre yang juga Founder komunitas Taklim Jurnalistik.
Dzakira Talita Zahra, Aktivis Muda Muslim Tinggal di Jakarta.
(azm/arrahmah.com)