WASHINGTON (Arrahmah.com) – CIA mendesak Gedung Putih untuk menyetujui ekspansi yang signifikan dari armada drone bersenjata, sebuah langkah yang akan memperluas mata-mata AS selama satu dekade, ujar pejabat AS.
Usulan oleh direktur CIA, David Petraeus diklaim akan meningkatkan kemampuan agen intelijen ini untuk mempertahankan kampanye atas serangan mematikan di Pakistan dan Yaman.
Jika disetujui, CIA bisa menambah 10 armada, ujar para pejabat AS.
Hasil ini memiliki implikasi luas bagi kebijakan “kontra-terorisme” dan apakah CIA secara bertahap kembali menjadi sebuah organisasi yang difokuskan terutama pada pengumpulan intelijen atau tetap menjadi pemain utama dalam pembunuhan yang menargetkan tersangka “terorisme” di luar negeri.
Pejabat dari Gedung Putih, CIA dan Pentagon menolak untuk mengomentari proposal tersebut.
Seorang pejabat AS mengklaim bahwa permintaan tersebut mencerminkan kekhawatiran bahwa kekacauan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara telah menciptakan celah baru bagi Al Qaeda dan afiliasinya.
“Dengan apa yang terjadi di Libya, kami menyadari bahwa tempat-tempat ini akan memanas,” kata pejabat AS mengacu pada serangan di gedung Kedubes AS yang menewaskan duta besar AS untuk Libya dan staf AS lainnya.
Gedung Putih “sangat prihatin” dengan munculnya afiliasi Al Qaeda di Afrika Utara, yang memperoleh senjata dan wilayah setelah runtuhnya pemerintah di Libya dan Mali. Untuk meningkatkan pengawasan di wilayah tersebut, Amerika telah megandalkan pesawat turboprop kecil yang menyamar sebagai pesawat pribadi.
Setiap langkah untuk memperluas jangkauan armada drone bersenjata CIA, mungkin akan membutuhkan agen baru untuk membangun pangkalan rahasia tambahan. Badan ini bergantung pada pilot militer AS untuk menerbangkan pesawat dari pangkalan-pangkalan di barat daya Amerika Serikat.
Predator CIA yang digunakan di Pakistan telah diterbangkan dari lapangan terbang di sepanjang perbatasan Pakistan-Afghanistan. CIA telah membuka pangkalan rahasia di Semenanjung Arab ketika memulai penyerangan di Yaman meskipun pesawat JSOC diterbangkan dari fasilitas terpisah di Djibouti.
Washington dan CIA berulangkali mengklaim bahwa serangan drone mereka menargetkan “militan”, namun fakta di lapangan mengatakan bahwa korban utama dari serangan pengecut tersebut adalah warga sipil Muslim tak bersalah. (haninmazaya/arrahmah.com)