KABUL (Arrahmah.id) — Taliban mengurungkan keputusan membolehkan anak perempuan kembali ke bangku sekolah menengah, dengan alasan masih memikirkan soal seragam yang harus mereka pakai.
Mestinya sekolah di seluruh Afghanistan akan dibuka hari Rabu (23/3/2022), menyusul penerapan pembatasan yang dikeluarkan Taliban sejak kelompok ini mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021.
Namun, tiba-tiba saja Kementerian Pendidikan mengumumkan sekolah menengah untuk anak-anak perempuan belum akan dibuka, keputusan yang memicu kebingungan.
Pengumuman di menit-menit membuat anak-anak menangis karena kecewa.
Keputusan dikeluarkan sepekan setelah Kementerian Pendidikan Afghanistan mengatakan semua murid, termasuk siswa perempuan, akan kembali bersekolah mulai Rabu (23/3).
Pernyataan kementerian menyebutkan “semua siswi sekolah menengah dan sekolah-sekolah yang punya siswa perempuan di atas kelas enam masih akan tetap libur sampai ada pemberitahuan lebih lanjut”.
Ditambahkan, sekolah untuk anak-anak perempuan akan dibuka kembali begitu ada keputusan terkait seragam sekolah “yang sesuai dengan hukum Islam dan tradisi Afghanistan”.
Kekecewaan tak hanya dialami oleh murid-murid perempuan, tetapi juga para orang tua.
Seorang laki-laki yang enggan menyebut namanya kepada BBC (24/3) mengatakan anak perempuan tak berhenti menangis dan sangat kecewa begitu tahu pemerintah Taliban tak membolehkannya kembali bersekolah.
“Jika sesuatu terjadi pada anak saya, saya tak akan pernah memaafkan Taliban,” ujarnya.
Sebelumnya, ketika Taliban berkuasa pada 1990-an, anak-anak perempuan sama sekali dilarang mendapatkan pendidikan. Dan sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, hanya anak perempuan usia sekolah dasar yang boleh mengenyam pendidikan formal.
Anak laki-laki sementara itu tetap boleh bersekolah di hampir semua wilayah Afghanistan.
Di balik layar, para anggota Taliban mengakui pendidikan untuk anak-anak perempuan masih menjadi isu kontroversial di kalangan Taliban garis keras.
Pembatalan pembukaan sekolah bagi anak-anak perempuan menunjukkan perpecahan di kelompok ini dan menggarisbawahi sikap elemen garis keras yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat secara umum.
Aktivis Mahouba Seraj, pendiri Jaringan Perempuan Afghanistan, mengatakan dirinya tak habis mengerti mengapa Taliban berubah pikiran.
Ia mempertanyakan mengapa tiba-tiba saja keputusan pembukaan sekolah dibatalkan karena urusan seragam.
Ia mengatakan seragam murid-murid perempuan selama ini tak menjadi masalah karena para siswi semua mengenakan hijab. Ia juga mengatakan di sekolah menengah ada pemisahan kelas antara siswa laki-laki dan perempuan.
Masyarakat internasional menuntut anak-anak perempuan dibolehkan bersekolah sebagai syarat pencairan dana bantuan.
Seraj mengatakan, masyarakat internasional harus tegas dan menyatakan, “Jika tak ada pengakuan [atas hak-hak perempuan], maka tidak akan ada uang bantuan. Titik.”
Misi PBB di Afghanistan mengatakan “mereka sangat kecewa dengan pengumuman Taliban”.
Sejumlah diplomat mengatakan penutupan sekolah menggerus kepercayaan terhadap Taliban.
Utusan khusus AS, Rina Amiri, mengatakan langkah Taliban “memupus harapan para orang tua yang menginginkan masa depan yang lebih baik untuk anak-anak perempuan mereka”. (hanoum/arrahmah.id)