Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Pemberitaan di media massa beberapa hari lalu tentang kasus korupsi masih saja mewarnai catatan hitam di negeri ini. Seperti di kutip dari merdeka.com 21/08/2014 diberitakan terdakwa kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, Ratu Atut Chosiyah, menitikkan air mata saat membacakan nota pembelaan (pledoi) dalam sidang lanjutan hari ini. Dia mengaku menyesal karena kasus yang menjeratnya anak bungsunya harus berhenti sekolah lantaran malu kerap dicibir.
Bicara tentang korupsi membuat rasa ini menjadi geram, marah, kecewa, semua bercampur aduk. Pemandangan di media masa dan layar kaca tentang para pelaku korupsi seakan terus mewarnai di negeri ini. Bahkan lebih ironisnya sang pelaku korupsi terlihat tidak ada perasaan bersalah sedikitpun. Senyum manis masih menghiasi persidangan.
Anak pun jadi korban
Melihat fakta di atas, jiwa manapun akan merasa sedih tatkala hasil dari perbuatan orang tuanya menjadikan si anak sebagai korban. Betapa memilukan anak yang harusnya nyaman dan aman belajar menggapai cita-citanya, harus berhenti sekolah akibat dari perbuatan orang tuanya. Orang tua yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendidik buah hatinya, tapi malah berada dalam kursi pesakitan karena lemahnya moral manusia saat ini yang dengan mudah tergiur barang yang haram, yang bukan haknya. Hingga akhirnya tugas sebagai orang tua terabaikan.
Padahal pelaku korupsi ini menyadari bahwa hal yang diperbuatnya ini adalah melanggar norma-norma agama (hukum syara’) dan memiliki konsekuensi sanksi azab yang keras di kehidupan kelak. Namun karena lemahnya iman dan moral, menjadi penyebab dorongan untuk melakukan perbuatan yang tercela ini begitu kuat. Oleh karenanya perlu adanya kesadaran yang tinggi untuk memikul tanggung jawab serta turut berpartisipasi dalam kontrol sosial dan politik.
Maha Benar Allah Subhanahu Wa Ta’aaladalam firman-Nya :
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (QS; Al-Hadid; 20)
Sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh ayat di atas, bahwa sesungguhnya dunia itu adalah kesenangan, menipu, sudah banyak sekali diketahui dan dipahami oleh umat manusia. Namun, mengapa kecenderungan akan godaan duniawi dan perilaku-perilaku untuk berbuat korup masih terjadi bahkan malah semakin meningkat, dan endingnya penyesalan dan ratapan yang dirasakan. Kejadian semacam ini sudah terbukti dalam beberapa kasus, hingga anak jualah yang menjadi korban. Lebih memilukan lagi jika anak masih di bawah umur, tentu dampak psikologis akan sangat dirasakan.
Korupsi dan Kerugian
Korupsi selalu menorehkan cerita dan dampak yang kompleks. Sang pelaku korupsi tentu menyadari sebelumnya jika perbuatannya itu akan mengundang masalah. Para pelaku adalah orang-orang yang mengerti betul tentang itu semua, apalagi jika dilihat dari latar belakang profesi mereka. Lebih ironisnya latar belakang pendidikan tinggi justru membuatnya terjerumus dalam kubangan dosa. Sudah banyak di negeri ini faktanya; dari mulai hakim, elit politik, pejabat, dan lain sebagainya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data tentang kerugian negara akibat kasus korupsi yang terjadi selama semester I tahun 2014. Ditemukan sebanyak Rp 3,7 triliun uang negara ‘hilang’ karena dikorup oleh pejabat mulai dari pusat hingga daerah. Jumlah kerugian tersebut berasal dari 308 kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan jumlah tersangka sebanyak 659 orang. Dari banyak kasus yang terjadi terdapat tiga kasus dengan dugaan korupsi potensi kerugian negara terbesar. Kasus tersebut di antaranya korupsi biaya penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama, dengan potensi kerugian sebesar Rp 1 triliun. Yang paling besar adalah dugaan korupsi proyek pengadaan E-KTP di Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp 1,12 triliun
Korupsi yang terjadi di daerah juga tidak kalah mengkhawatirkan. Sebab, dari 308 kasus yang terjadi pada semester I tahun 2014, instansi yang paling banyak melakukan tindakan korupsi adalah pemerintah daerah (pemda), yakni sebanyak 97 kasus. Sementara itu, berdasarkan jabatan tersangka, sebanyak 281 tersangka korupsi berasal dari pejabat atau pegawai pemda dari total sebanyak 659 tersangka korupsi. Korupsi di daerah memang semakin mengkhawatirkan. (republika.co.id 17/08/2014)
Islam menumbuhkan kebaikan
Di tengah pesta demokrasi beberapa waktu dilakukan, dan bertepatan di bulan Agustus yang sebagian masyarakat memandang Indonesia berulang tahun pada 17 Agustus 2014. Telah 69 tahun, melangkah dan tumbuh. Namun, dalam perkembangannya Indonesia belum bebas dari korupsi.
Sejatinya negeri ini masih belum merdeka, terkungkung oleh penjajahan kapitalisme, liberalisme, dan sekulerisme. Kesejahteraan dan keadilan ekonomi hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Negeri ini masih membebek pada peradaban barat yang sejatinya membuat negeri ini makin sengsara. Ditambah pejebat korup yang seharusnya mereka melayani masyarakat akan tetapi malah memupuk kekayaan untuk diri sendiri.
Berbagai upaya telah dilakukan baik dengan membentuk KPK sebagai Lembaga yang fungsinya untuk memberantas korupsi di negara ini. Namun hasilnya sampai detik ini Indonesia masih bertengger di papan atas sebagai negara terkorup. Jadi wajar saja muncul sikap-sikap pesimistis dan apatis dalam penyelesaian masalah korupsi tertuntaskan.
Transaksi politik dan lemahnya eksekusi hukuman bagi koruptor memberikan andil yang besar atas ketidaktuntasan masalah korupsi di negeri ini. Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas, haram dan dilarang. Memberantas korupsi satu persatu dalam sistem sekuler-kapitalis-demokratis saat ini begitu sulit, karena sudah mengakar dan terjadi di berbagai lini kehidupan. Solusi menghilangkan korupsi adalah mengganti sistem kapitalis sekuler, menanamkan nilai-nilai ideologi/keimanan pada tiap individu, menegakkan hukum yang tegas dan keras bagi koruptor, agar koruptor jera.
Mari kita selalu optimis dan berjuang untuk kebaikan negeri ini, dan berdoa agar negeri ini selalu melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah layaknya para Khalifah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Wallaahu a’lam bi ash-shawab. (arrahmah.com)