MANDALAY (Arrahmah.com) – Belasan pria Muslim Myanmar telah dihukum dengan dalih hubungan mereka dengan kelompok bersenjata yang tidak diketahui dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara, setelah persidangan yang kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa mereka telah mengalami penyiksaan.
Fortify Rights, sebuah kelompok pengawas, mengatakan kepada Al Jazeera pada Selasa (8/12/2015) bahwa 12 orang dari wilayah Mandalay tidak mendapatkan pengadilan yang adil dan bahwa unsur-unsur prasangka anti-Muslim memainkan peran dalam kasus mereka.
Para korban termasuk seorang buruh berusia 19 tahun, seorang pekerja restoran berusia 34 tahun dan seorang pedagang berusia 58 tahun,
semua dinyatakan bersalah pada Senin (7/12) di bawah hukum keamanan nasional dan dituduh terlibat dalam pelatihan yang diklaim oleh otoritas Myanmar sebagai Tentara Muslim Myanmar.
“Saya pikir itu adalah ketidakadilan besar,” ujar Matthew Bugher, seorang pengacara Harvard dan perwakilan Fortify Rights di Myanmar, terkait putusan yang dikeluarkan oleh hakim di pengadilan di kota Aung Myay Thar San.
“Pemerintah tidak memberikan bukti apapun untuk mendukung tuduhan mereka terhadap orang-orang ini,” lanjutnya.
Dia menambahkan penyiksaan secara terbuka juga dilakukan oleh otoritas Myanmar.
Bugher merujuk ke salah satu kesaksian pengadilan yang ia saksikan, dimana terdakwa mengatakan kepada hakim bahwa ia dipaksa untuk menandatangani dokumen pengakuan setelah menjalani penyiksaan dalam tahanan.
Bugher juga mempertanyakan keberadaan Tentara Muslim Myanmar, mengatakan bahwa “catatan pengadilan sangat sedikit dan kita tidak bisa membuat analisis mengenai kelompok tersebut”.
“Ini adalah pertama kalinya bahwa setiap dari kita mendengar tentang kelompok ini. Kami bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik untuk menilai klaim pemerintah jika mereka benar-benar memberikan beberapa bukti untuk kami analisis. Tapi mereka tidak memilikinya.”
Selama persidangan, saksi mengaku berada di bawah Undang-undang rahasia negara yang ia jadikan alasan untuk tidak memberikan lebih banyak bukti di depan umum, dengan alasan bukti itu datang dari pejabat tingkat tinggi di pemerintahan, ujar Bugher kepada Al Jazeera.
Secara terpisah, Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch Asia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa identitas Tentara Muslim Myanmar tetap menjadi misteri bahkan setelah persidangan.
“Yang jelas adalah pemerintah gagal untuk memberikan bukti yang cukup bahwa 12 pria ada hubungannya dengan kelompok itu, sehingga mereka harus segera dibebaskan,” katanya.
Sebuah pengadilan di mana saksi jaksa penuntut menggunakan hukum pemerintah untuk menghasilkan bukti di pengadilan hampir tidak bisa disebut pengadilan yang adil.
U Ottama Sara, seorang biksu di biara Phaung Daw Oo di Mandalay selama ini aktif mempromosikan acara antar-agama dengan Muslim atau agama lainnya di Myanmar.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa prasangka terhadap Muslim telah menjadi masalah dalam waktu yang lama.
U Ottama Sara menyalahkan pendidikan yang buruk, kurangnya pengetahuan dan lemahnya keterlibatan sipil untuk persepsi yang salah dari mayoritas Budha terhadap minoritas Muslim.
Dia ingat bahwa saat masih kecil, ia dibuat percaya bahwa ummat Islam adalah musuh ummat Budha. Dia mengatakan bahwa dia mulai mempertanyakan keyakinan tersebut saat ia beranjak besar.
“Saya bertanya pada diri sendiri apakah itu benar, bahwa mereka adalah orang jahat,” ungkap U Ottama Sara.
“Jadi saya menjadi penasaran dan mulai berteman dengan mereka. Sekarang saya tahu bahwa apa yang diberitahu kepada saya adalah tidak benar.” (haninmazaya/arrahmah.com)