Di sebuah tempat tidur rumah sakit tenda, terlihat seorang wanita Suriah membuai salah satu warga baru kamp pengungsi Zaatari Yordania yang berdebu. Ia membuai bayi yang baru saja dilahirkannya melalui operasi sesar. Ia adalah salah satu pengungsi yang tengah hamil empat bulan ketika ia menyelamatkan diri dan bayinya dari perang di negaranya.
Belasan bayi dilahirkan setiap hari di kamp Zaatari, yang merupakan rumah bagi 120.000 warga Suriah dan, terhitung, di sana hanya ada seorang dokter Maroko yang harus bekerja ekstra untuk mereka.
Namun, klinik di mana dokter itu melakukan operasi dan beberapa rumah sakit lapangan lainnya di sana mencoba melangsungkan proses kelahiran dengan perawatan berkualitas bagi wanita hamil dengan trauma yang diderita di tanah air mereka dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi di kamp pengungsian.
“Alhamdulillah, kami memiliki fasilitas bersih dan instrumen aman di kamp pengungsi ini,” kata Umm Raad sambil menggendong bayinya yang baru berusia satu jam, Abdullah, di bangsal rumah sakit lapangan Maroko bulan lalu. Seperti wanita-wanita lainnya di kamp pengungsi itu, ia diminta untuk merahasiakan nama aslinya karena takut berdampak terhadap keluarganya yang masih berada di Suriah.
Lebih dari 10 bulan, kamp Zaatari yang terletak dekat perbatasan Suriah telah melebar hingga ke padang pasir tandus. Di kamp Zaatari, hanya terdapat sebagian pengungsi Suriah yang jumlah keseluruhannya melebihi setengah juta orang di seluruh Yordania, sementara sebagian lainnya tinggal di beberapa kota Yordania, dengan penambahan 1.500-3.000 pengungsi baru setiap harinya.
Lembaga-lembaga internasional mencoba menyediakan layanan medis mereka – termasuk untuk wanita hamil atau wanita yang baru melahirkan.
“Di kamp Zaatari saja, ada 10 sampai 13 kelahiran setiap hari,” kata Muna Idris, perwakilan UNFPA untuk Yordania.
Pada akhir tahun ini, dia memperkirakan, akan ada 1,2 juta pengungsi Suriah di Yordania dan “dari jumlah tersebut akan ada 30.000 yang sedang hamil.”
Lebih dari seperempat populasi di kamp Zaatari adalah wanita berusia subur, sebagian besar dari mereka melarikan diri ke kamp itu dengan anak-anak mereka, namun tidak bersama suami mereka. Suami mereka tetap di Suriah untuk melindungi rumah mereka atau berjihad melawan rezim diktator Bashar Assad.
Di kamp itu, di tenda-tenda atau di trailer, mereka harus bertahan bersama dingin yang terasa menggigit di musim dingin dan badai debu yang terasa membakar di musim semi dan musim panas – di samping perjuangan hidup sehari-hari.
Banyak di antara mereka yang mengungkapkan beban saat mengumpulkan air dari fasilitas umum kamp. Selain itu, mereka juga harus berjalan jarak jauh untuk mengunjungi klinik, kemudian menunggu giliran mereka selama berjam-jam di bawah sinar matahari dengan anak-anak yang mengikuti di belakang mereka.
Umm Mohamed (29), yang bulan lalu sudah memasuki bulan ke sembilan usia kehamilannya, tiba di kamp dengan empat anaknya pada bulan April dari Daraa, sebuah kota di Suriah selatan tepat di seberang perbatasan Zaatari.
“Saya merasa sulit harus melakukan banyak hal sendiri,” katanya. “Suami saya masih berada di wilayah Suriah dan anak-anak saya masih sangat kecil.”
Ia bilang dirinya beruntung bisa tinggal dengan seorang kerabatnya di sebuah trailer kamp. “Tapi sering kami kesulitan mendapatkan air. Dan kami jelas tidak punya uang,” ungkapnya.
Yang ada di benaknya saat itu adalah kekhawatiran akan proses persalinannya di kamp pengungsian yang serba terbatas itu.
“Anak saya dan anak-anak lain yang lahir di sini, yang bukan dilahirkan di negara mereka sendiri, di rumah mereka sendiri, bagaimanakah masa depan mereka?”
Ada beberapa rumah sakit tenda di kamp itu yang dijalankan oleh sejumlah negara, termasuk Yordania. Rumah sakit-rumah sakit tersebut menyediakan berbagai layanan kesehatan bagi para pengungsi. Sementara pengungsi dengan kondisi medis yang serius dirujuk ke rumah sakit terdekat Yordania.
Belum diketahui jumlah komprehensif kelahiran bayi sejak kamp Zaatari didirikan pada bulan Juli tahun lalu. Hanya dua klinik – rumah sakit Maroko yang didirikan pada bulan Agustus lalu dan satu lagi yang dijalankan oleh badan Gynécologie Sans Frontières Perancis – yang telah menyampaikan bahwa jumlahnya hampir mencapai 600 bayi, menurut spesialis urusan kemanusiaan UNFPA, Shible Sahbani.
Dalam enam minggu, lebih dari 280 bayi dilahirkan di kamp itu tahun ini, menurut laporan mingguan enam kamp melalui badan pengungsi PBB.
Rumah sakit Maroko memiliki 47 dokter spesialis tetapi hanya ada satu dokter kandungan, yang melakukan semua bedah caesar, dan hanya satu ahli anestesi.
“Dia menjadi begitu sibuk di rumah sakit lapangan pada hari-hari tertentu,” kata seorang dokter di klinik itu. “Semua rumah sakit lapangan lain di kamp merujuk dan mengirim semua pasien mereka yang membutuhkan C-sections kepada kami. Hal ini membuat banyak di antara kami di rumah sakit Maroko harus bekerja kadang-kadang hingga 18 jam sehari.”
“Meskipun para dokter di sini menghadapi tekanan besar dan beban kerja yang berat, kami merasa di akhir hari kami telah benar-benar melayani kemanusiaan,” kata dokter yang namanya dirahasiakan sesuai dengan peraturan di kamp.
Rumah sakit Maroko terdiri dari sekitar 15 tenda. Salah satunya, dengan pintu flap Velcro besar, adalah ruang operasi di mana C-sections dilakukan, diisi dengan mesin oksigen, monitor bagi ibu dan bayi, tempat tidur rumah sakit, infus, lampu dan peralatan medis untuk melakukan operasi. Bayi yang baru lahir pada awalnya dimasukkan ke dalam inkubator di dekatnya, saat sang ibu dibawa ke sebuah tenda yang berfungsi sebagai bangsal bersalin.
Fasilitas ini mungkin lebih baik daripada di beberapa bagian negara Suriah. “Orang-orang ini ke Yordania karena memburuknya akses ke layanan di Suriah, baik layanan kesehatan, air, makanan ataupun tempat tinggal,” kata Idris.
Umm Murad, yang melahirkan bayi perempuannya, Judy, bulan lalu di kamp Zaatari, mengatakan bahwa hal tersulit adalah tidak adanya keluarga yang membantu saat dan setelah proses persalinan di sana. Judy menderita demam dan penyakit kuning. Setelah pencarian panjang yang penuh dengan kepanikan, akhirnya ditemukan tempat untuknya di sebuah rumah sakit di kota Mafraq.
“Kembali ke Suriah, memungkinkan ibu saya dan kerabat dekat saya untuk berada di sisi saya selama saya melahirkan,” kata Umm Murad. “Di sini tidak ada kerabat yang membantu saya.” (banan/ap/arrahmah.com)