Hidup Layla* berubah dalam sekejap. Tahun lalu, rumahnya di dekat Damaskus hancur dalam sebuah pertempuran Suriah. Ia juga kehilangan suami dan dua saudara laki-lakinya. Layla kemudian hidup bersama dengan tiga anak-anaknya yang berusia mulai 8 hingga 12 tahun.
Keputusan pertama yang ia ambil sebagai seorang single parent untuk anak-anaknya ialah menyelamatkan diri dari wilayah perang. Saat ini, Layla dan anak-anaknya tinggal di Lebanon. Kisah mereka merupakan sebuah pengembaraan keputusasaan dan rasa sakit, namun akhirnya ia berhasil bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan itu.
Setelah melintasi pegunungan dengan berjalan kaki ke Lebanon, Layla dan anak-anaknya, dua putri dan seorang putra, tinggal di bawah jembatan di taman umum di Beirut. Ia tidak punya uang dan tidak memperoleh informasi mengenai bagaimana cara mencari bantuan. Ia terpaksa mulai mengemis di jalanan untuk bertahan hidup.
Karena ia tidak memasuki Lebanon melalui perbatasan, maka polisi setempat mengeluarkan perintah deportasi untuk ia dan anak-anaknya. Saat ia mengurus dan kemudian mendapat izin untuk menetap, ia malah ditangkap, ditahan dan didenda di penjara, di mana kemudian tim IRC menemukan dan menolongnya.
Para relawan IRC kemudian mengurus bantuan hukum untuk membebaskan Layla dari tahanan.
Masih sulit bagi Layla untuk mengatasi perubahan besar dalam hidupnya. Namun ia sering mengulangi, “Di sini? Kami memiliki dua telur dan sepotong roti kemarin, tapi kami masih bersyukur kepada Tuhan atas segala sesuatunya.”
Impian Layla adalah bisa memperoleh pekerjaan yang akan memungkinkan ia untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Karena, setahun setelah ia menyelamatkan diri dari Suriah dan memperoleh bantuan sukarelawan, tantangan yang ia hadapi tak lantas berhenti sampai di situ.
*) bukan nama sebenarnya
(banan/arrahmah.com)