Penulis: Abu Yahya, seorang ayah yang khawatir anaknya mendapat informasi tak berimbang oleh sebuah kepentingan
(Arrahmah.com) – Rabu 13 Agustus lalu, Ponpes Baitussalam, Mijen, Kab. Semarang tempat anak saya belajar kedatangan tamu istimewa. Rombongan dari Polres Semarang dan Kemenag datang untuk melakukan sosialisasi bahaya ISIS ke hadapan seluruh santri dari tingkat MTs hingga MA. Seluruh santi tumpah di masjid kompleks pondok tersebut untuk mendengarkan pemaparan tamu rombongan.
Saya tidak hadir di tempat saat itu, hanya mendapatkan kabar dari salah seorang pengurus Madrasah melalui broadcast Socmed. Sebagai relawan yang pernah bertugas di Suriah, saya tergelitik untuk mengetahui lebih jauh acara tersebut. Selain itu, saya juga merasa menjadi korban atas paranoid dan keresahan yang ditebar media atas massifnya pemberitaan atas “bahaya ISIS.” Karena itu, ketika mendapatkan file presentasi yang dibahas dalam acara tersebut, saya tertarik untuk berkomentar. Bismillahirrahmanirrahim….
SLIDE 01, berjudul ISIS Dilarang di Indonesia.” Di atasnya terdapat kop resmi institusi Polri. Presentasi ini, menurut pihak Pondok yang saya konfirmasi, juga disampaikan secara langsung oleh Kasat Intel Polres Semarang. Sayang sekali, sebagai aparat penegak hukum, pihak Kepolisian tidak menjelaskan dasar hukum yang menjelaskan “ISIS Dilarang di Indonesia.”
Dasar hukum ini sangat penting, karena mau bagaimanapun, Polisi selalu menyebut diri sebagai alat penegak hukum. Ini tentunya, semua langkah yang dilakukan polisi, mulai dari penangkapan aktivis terduga pro-ISIS sampai presentasi ke sekolah-sekolah seperti yang dilakukan kemaren, harus ada landasan hukumnya, bukan asumsi. Tidak boleh hanya berdasarkan asumsi bahwa ISIS itu kejam, berbahaya bagi NKRI atau dugaan-dugaan lain yang belum ada buktinya.
Yang juga patut disayangkan, Polisi tidak sensitif terhadap simbol-simbol umat Islam. Sebagaimana terlihat jelas, kalimat tauhid yang sangat diagungkan dicoret dengan warna merah. Apakah Polisi tidak ingat bagaimana umat Islam begitu marah kepada Koran The Jakarta Post, Ramadhan lalu? Boleh benci, boleh marah, boleh geram dan jengkel kepada ISIS. Tetapi, mengapa tidak berhati-hati dan lebih menjaga perasaan umat Islam? Bukankah ilustrasi tulisan ISIS lalu dicoret garis besar warna merah sudah cukup mewakili maksud?
SLIDE 02, dari tata grafisnya, tampak slide ini ingin menggambarkan asal-usul terbentuknya ISIS. Meski secara urutan proses tidak keliru—di mana ISIS cikal bakalnya adalah Daulah Islam fil Iraq (DII), namun banyak fase yang hilang dalam presentasi tersebut. Seperti pertemuan Dewan Syura yang menunjuk Abu Bakar Al-Baghdadi, mengesankan bahwa dialah pemimpin pertama DII. Padahal sebelumnya ada Abu Umar Al-Baghdadi, dan Abu Hamzah Al-Muhajir sebagai panglima perangnya.
Namun yang paling rancu adalah indikator yang ditulis di bagian kanan paling bawah. Disebutkan bahwa ciri-ciri ISIS adalah “tafsir yang keras terhadap Islam Wahabi.” Di sini, presentator tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Wahabi dan bagaimana asal-usulnya. Agaknya, yang bersangkutan (dan rombongan tamu?) termakan doktrin: pokoknya Wahabi itu teroris!
Hal lain yang dikatakan sebagai keganjilan adalah: “Menyerang Syiah dan Kristen.” Bila hal ini dilakukan di Indonesia, boleh saja kita berpolemik. Namun itu dilakukan oleh ISIS di Iraq dan Suriah dalam konteks perang. Kedua kelompok, Syiah dan Kristen, adalah pihak yang sebelum ini bersekongkol dengan Amerika membantai kaum Muslimin (Sunni) di Iraq. Lalu ketika hari ini mereka membalas dendam, mengapa kita hanya menyalahkan mereka (ISIS) namun diam saja ketika mereka dibantai oleh Amerika dengan meminjam tangan Syiah dan Kristen?
Kita tidak ingin menganggap pihak presentator sebagai ahistoris. Namun bila tidak tahu ilmunya, Islam mengajarkan kita untuk diam (tawaquf)!
SLIDE 03, Sumber dana dan persenjataan ISIS. Saya tidak ingin banyak berkomentar, hanya ingin bercerita. Melihat presentasi slide ketiga ini, anak saya yang baru saja naik kelas 2 MTs di Ponpes tersebut berseloroh, “Itu senjatanya beda-beda…ada yang kayak roket, ada yang kayak senapan… tetapi mengapa semua dinamai satu, yaitu M198 Howitzer?”
SLIDE 04, Mengapa ISIS dilarang di Indonesia. Mengkomparasikan ISIS dengan Indonesia jelas bukanlah perbandingan apple by apple. ISIS adalah sekelompok orang yang ingin mendirikan negara Islam dan sudah mempunyai wilayah di sebagian Iraq dan Suriah. Sementara Indonesia adalah bukan negara Islam. Komparasi lain, mengapa negara Cina yang berideologi Komunisme yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tidak diributkan sebagaimana ISIS? ISIS adalah proto-state yang berhak menentukan sendiri ideologinya.
Presentasi tersebut juga kurang adil. Bila adegan menembak mati tawanan dikategorikan sebagai ideologi ISIS, mengapa tidak ada ilustrasi yang menggambarkan apa yang marak di Indonesia berupa perzinaan, perkosaan, perjudian penghalalan khamer, korupsi, pembunuhan dan sederet tindak kejahatan lainnya untuk disebut sebagai ideologi Pancasila dan UUD 1945?
SLIDE 05. Tentang lambang tauhid yang dinistakan dengan dicoret besar-besar dengan garis merah, sudah saya singgung sebelumnya. Kini ada adegan eksekusi beberapa orang oleh ISIS yang dikatakan sebagai: “bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.” Pasal mana dan ayat berapa?
Apakah presentator itu sudah tahu siapa yang dieksekusi oleh ISIS? Kebanyakan umat Islam menyayangkan aksi ISIS yang memerangi sesama umat Islam di Suriah. Tetapi tidak berarti semua orang yang dieksekusi oleh ISIS adalah umat Islam. Di Iraq, yang hari ini menjadi bulan-bulanan mereka adalah kaum Syiah yang bersekongkol dengan AS untuk membunuhi anak dan keluarga anggota ISIS tersebut. Mudah-mudahan poin ini tidak lupa dibubuhkan oleh presentator, biar adil.
SLIDE 06, bagi saya ini adalah slide paling norak. Amati foto sebelah kanan. Seorang lelaki memotret lima orang perempuan bercadar yang berpose normal di hadapannya. Pertanyaannya, sisi mana dari kegiatan dalam foto tersebut yang disebut “Bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika?” Apakah berjongkok memakai jubah putih, kegiatan memotret, atau mengenakan jubah dan cadar? Sebagai catatan, foto itu sama sekali tidak berkaitan dengan ISIS. Foto tersebut sudah lama beredar di internet jauh sebelum terjadinya revolusi di Suriah tahun 2010 yang akhirnya memicul lahirnya ISIS.
Lalu foto di bawah, seorang pria berjenggot sedang memberikan arahan di hadapan beberapa wanita berseragam milisi dan bercadar yang juga menenteng senjata. Mengapa bercadar selalu dan sekali lagi diidentikkan dengan “bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika?” Lalu apa artinya “perbedaan” bila semua perempuan Indonesia tidak boleh memakai cadar dan hanya boleh memakai kerudung biasa sebagaimana gambar sebelah kiri?
SLIDE 07, saya menyebutnya sebagai slide paranoid. Mengapa, karena sangat-sangat lebay—meminjam istilah anak muda sekarang—untuk mengatakan Indonesia sebagai target IS. Entah target perekrutan, atau target serangan, sama sekali presentator tidak menunjukkan bukti yang sah. Apalagi menyebut WNI yang pulang dari Suriah sebagai radikal. Ini adalah momok dan paranoid yang orang Barat sendiri sudah menampiknya. Lalu mengapa kita masih mempercayai asumsi tanpa bukti? Silakan baca di sini.
Melihat gegap gempitanya paranoid ISIS ini, saya teringat sebuah kisah. Pada 11 Agustus 2014 di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat diselenggarakan pertemuan beberapa tokoh membahas masalah ISIS di Indonesia. Penyelenggaranya adalah Forum Komunikasi Alumni Afghanistan, dengan moderator Wawan Purwanto, yang lebih kesohor sebagai pengamat terorisme. Dalam pengantarnya, cerita seorang peserta kepada saya, Wawan mengatakan, “Timur Tengah sedang panas..demikian pula merambat menjadikan Indonesia pun panas juga.” Seorang peserta yang alumni Afghanistan, mantan terpidana kasus terorisme kemudian menyanggah, “Benar Timur Tengah sedang panas. Tetapi Indonesia tidak. Yang lebih tepat, Indonesia sengaja sedang dibikin panas dengan isu ISIS ini.”
SLIDE 08, tidak perlu dikomentari.
SLIDE 09, saya membayangkan Indonesia sedang siaga satu menghadapi serangan pemikiran yang hebat dari negara asing. Sampai-sampai seluruh tatanan sosial terkecil seperti RT pun dilibatkan. Padahal, masyarakat pada tataran seperti mereka jarang yang paham dengan benar apa itu ISIS, selain hanya paranoid dan pembodohan yang terus digencarkan oleh aparat itu sendiri. Kasihan masyarakat, yang kemudian larut dalam siklus pembodohan yang tak berujung, hanya gara-gara paranoid yang berlebihan.
SLIDE 10, Penutup dengan logo Polda Jateng. Saya pun ingin menutup tulisan ini dengan satu penegasan. Kita semua menentang segala macam penyelewengan ajaran Islam yang mengatasnamakan Islam. Ada beberapa masalah yang perlu diklarifikasi dari ISIS terkait beberapa keganjilan, seperti kemudahan mereka untuk mengkafirkan sesama Muslim. Namun, yang diperlukan adalah klarifikasi. Bukan paranoidisasi.
Karena ini sifatnya ranah ilmiah dan pemikiran, biarlah para alim ulama yang melakukan klarifikasi terkait hal ini. Polisi hendaknya tetap duduk siaga ketika ada hukum yang dilanggar. Namun, sejauh ini, pasal apa yang telah dilanggar oleh pendukung ISIS? Apakah mereka yang bergabung berjihad dengan ISIS di Suriah melanggar hukum kewarganegaraan sehingga harus dicabut status kewarganegaraannya? Kalau iya, cabut saja, selesai perkara. Tidak perlu menciptakan ketakutan dan keresahan yang tidak mendasar.
(azm/arrahmah.com)