Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Sebenarnya ilmu jarh wa ta’dil bagian dari ghibah…
Karena bisa membicarakan cacat seseorang. Bahkan bisa sangat detail. Sementara kita semua tahu, ghibah itu dosa besar.
Makanya, para ahli ilmu hadits selalu membahas tentang bab ghibah di awal pembahasan tentang ilmu mulia ini. Untuk mendudukkan beda ilmu yang mulia ini dengan ghibah yang merupakan dosa besar. Sekaligus untuk saling mengingatkan agar tidak melampaui batasnya.
“Perlu diketahui bahwa Al Jarh wa At Ta’dil aslinya adalah ghibah. Kalaulah bukan karena darurat dan kerusakannya lebih kecil daripada tidak mengghibah, maka para ulama tidak akan pernah rela mencacat. Darurat itu diukur sesuai dengan kadarnya. Maka saya tidak boleh melampaui batas darurat itu.” (Syekh DR. Hatim bin Arif Asy Syarif dalam At Takhrij wa Dirosat Al Asanid)
Mari kita simak bagaimana akhlak para ulama yang benar-benar ulama besar di bidang hadits berikut ini,
Yahya bin Ma’in berkata: Kita ini mencacat orang-orang yang bisa jadi telah meletakkan bawaan perjalanan mereka di surga sejak lebih dari 200 tahun yang lalu.
Ibnu Mahrawaih berkata: Aku masuk ke majlisnya Abdurrahman bin Abi hatim. Dia sedang membacakan kitab Jarh wa Ta’dil di hadapan jamaah. Aku pun menyampaikan kalimat tersebut. Beliau menangis. Bergetar tangannya hingga jatuh bukunya dari tangannya. Dia terus menangis dan memintaku mengulangi kalimat tersebut. Dan tidak bisa melanjutkan bacaan apapun di majlis itu. (Al Jami’ li Akhlaq Ar Rawi wa Adab As Sami’, Al Khathib Al Baghdadi)
Begitulah, mereka jelas-jelas ulama. Mereka jelas-jelas samudera di bidang hadits. Mereka jelas-jelas sedang mengajarkan ilmu mulia. Tapi begitu diingatkan, begitu takutnya. Hingga menangis dan bergetar tangannya, tak sanggup lagi menggenggam buku di tangannya dan tak lagi sanggup melanjutkan ilmu mulia yang sedang diajarkannya.
Itulah mengapa para ahli hadits memberikan syarat orang yang layak mencacat adalah mereka yang punya akhlak waro’. Karena dengan waro’ mereka membungkus ilmunya dengan akhlak itu. Tidak melampaui batas dan tidak ringan lisan mencacat siapa saja kemudian berdalih bagian dari ilmu jarh wa ta’dil.
Para ulama hadits jauh sejauh-jauhnya dari mereka yang terus menikmati mengunyah-ngunyah daging ulama dan saudaranya yang telah meninggal.
Maka benarkah, ketika sedang mencacat orang lain bahkan ahli ilmu, sedang membela syariat ataukah sedang menguruti hawa nafsu dan ta’ashub buta.
JUJURLAH…….
#sapapagi.BA
(*/Arrahmah.com)