Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Lagi….masih tentang ilmu agung; (علم الجرح والتعديل). Salah satu ilmu alat dalam syariat Islam yang luar biasa. Dan semestinya, ilmu ini tidak hanya berhenti di ruangan para ahli hadits. Dikarenakan filosofi dan logikanya begitu kuat, detail dan barokah. Begitu juga ilmu alat yang lainnya. Dahulu, ulama membuatnya untuk ilmu tersebut sekaligus untuk kehidupan ini.
Ilmu ini berisi dua hal: (الجرح) mencacat dan (التعديل) menyatakan adil/bisa dipercaya. Dibuat kaidah-kaidahnya untuk melihat kondisi para perawi hadits Nabi. Mengingat bahwa hadits Nabi adalah landasan syariat, maka para ulama hadits berusaha sekuat tenaga untuk membuat kaidah-kaidah detail yang berguna untuk memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar sabda, perbuatan atau ketetapan Nabi.
Nah, ilmu ini berguna untuk memberi stempel untuk para perawi. Jika seorang perawi dicacat oleh para ahli hadits, maka periwayatannya tidak diterima. Jika dinyatakan adil, maka periwayatannya diterima. Begitu panjang dan detailnya ilmu ini. Andai muslimin paham ilmu ini…
Tapi, sebelum masuk ke detailnya permasalahan dalam ilmu ini, yang pertama dibahas adalah siapa yang layak mencacat. Dan siapa yang layak menyatakan bahwa perawi itu adil. Karena tentu, tidak sembarang orang boleh mencacat dan memberi legalitas. Karena kalau dibiarkan semua orang boleh bicara, saya dan anda telah merasakan dampak negatifnya di zaman ini. Ketika semua orang boleh menilai orang lain. Ketika semua orang boleh mencacat. Ketika semua orang boleh mengeluarkan legitimasi. Kacau! Pertikaian! Hancurnya ilmu! Dan hancurnya persaudaraan!!!
Terus, siapakah kalau begitu yang boleh mengeluarkan pernyataan bahwa seseorang bisa diterima periwayatannya dan yang ditolak periwayatannya.
Kembali, (mohon maaf bercerita). Buku yang menjadi rujukan kami saat belajar adalah (ضوابط الجرح والتعديل). Penulisnya Syekh DR. Abdul Aziz Al Abdullatif menukil dari kitab Al Muqidzoh karya Adz Dzahabi dan kitab Nuzhah An Nadzor karya Ibnu Hajar Al Asqolani tentang 4 syarat seorang yang boleh menilai keadaan perawi. Berikut keempat syarat tersebut, semoga menjadi cermin kita semua :
- Adil
-
Punya sifat waro’, sehingga waro’nya mampu mencegahnya dari ta’ashub (fanatik buta) dan hawa nafsu
-
Harus jeli, agar tidak tertipu hanya oleh penampilan luar seorang perawi
-
Harus mengetahui sebab cacat dan sebab perawi bisa dipercaya, agar tidak mencacat yang bisa dipercaya dan tidak mempercayai yang cacat
Lihatlah satu per satu. Yang menilai orang lain adil atau cacat harus orang yang adil. Bagaimana menilai orang lain, sementara diri sendiri masih jauh dari sifat adil.
MARI TAHU DIRI…
Juga harus punya sifat waro’. Sebuah akhlak mulia yang membuat seseorang sangat menjaga dirinya, menjaga lisannya, berhati-hati ketika hendak bicara tentang kehormatan orang lain. Akhlak inilah yang membuatnya menjadi terbebas dari fanatisme golongan dan menuruti hawa nafsu dalam menilai orang lain. Maka, mereka yang sangat fanatik dengan kelompoknya, sehingga sering miring dalam menilai di mana hanya yang berasal dari kelompoknya saja yang selalu benar. Maka bagaimana ia menilai orang lain.
MARI TAHU DIRI…
Kemudian harus mempunyai kejelian analisa. Karena hanya menilai penampilan luar seseorang kemudian memberikan vonis, akan mendzaliminya. Jika masih begini cara pandang kita terhadap orang lain. Bagaimana kita menilai orang lain.
MARI TAHU DIRI…
Dan akhirnya, harus mengetahui betul sebab-sebab yang menyebabkan cacatnya seseorang dan adilnya seseorang. Jika ilmu masih sepotong-sepotong. Jika ilmu masih compang-camping. Maka, yang benar akan disalahkan dan yang salah tetap dibela. Masih begini keadaan kita?
MARI TAHU DIRI, dan mari bertanya?
LAYAKKAH KITA MENCACAT….???!
#sapapagi.BA
(*/Arrahmah.com)