Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Mereka yang belajar ilmu Jarh wa At Ta’dil pasti mendapati bab sangat penting ini. Para ulama hadits berbeda pendapat cukup tajam dalam hal ini. Judulnya: Apakah riwayat dari ahli bid’ah bisa diterima?
Maaf sekali lagi. Izinkan saya (terpaksa) harus bercerita kenangan saya saat berguru sebagai salah satu siswa di Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah.
Cukup mendalam kesan saya tentang bab ini saat kami diajar di kelas tentang bab ini. Entah mengapa. Yang jelas begitu tajamnya perbedaan pendapat ulama hadits. Bid’ah yang pelakunya tidak kafir, ulama mempunyai beberapa pendapat. Ada yang menolaknya mentah-mentah tanpa ampun. Ada yang menerima dengan syarat tidak menghalalkan dusta untuk membela keyakinan bid’ahnya dan kelompoknya. Ada yang mengatakan riwayat ahli bid’ah yang posisinya sebagai da’i/ulama, mereka ditolak, adapun yang bukan bisa diterima (di dalam pendapat ini pun masih ada perbedaan lagi dan disebutkan bahwa ini sebagai madzhab yang diikuti oleh kebanyakan ulama). Ada juga yang membedakan dari jenis bid’ahnya.
Di kelas kami menggunakan kitab (ضوابط الجرح والتعديل) karya Syekh DR. Abdul Aziz Al Abdul Latif rahimahullah. Saat itu, beliau sudah tidak bisa mengajar kami karena sakit hingga beliau meninggal. Dalam buku tersebut dipaparkan dengan detail, tanpa penulis memperjelas pendapat mana yang dipilihnya. Begitu kuatnya dalil setiap ulama. Tapi penulis dan syekh kami yang mengajar pelajaran ini DR. Anis Thohir pun –seingat saya- cenderung mengatakan riwayat ahli bid’ah bisa diterima dengan syarat-syarat.
Yang pasti, pendapat kebanyakan ulama adalah menerima riwayat ahli bid’ah dengan syarat yang berbeda-beda. Dikarenakan ulama hadits dalam kitab-kitab mereka mencantumkan riwayat para ahli bid’ah.
Al Hafidz Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala’ menukil dari Al Hafidz Muhammad bin Al Barqi yang berkata: Aku bertanya kepada Yahya bin Main: Bagaimana dengan orang yang tertuduh berkeyakinan salah dalam masalah taqdir apakah ditulis haditsnya? Yahya menjawab: Ya, Qotadah, Hisyam Ad Dustuwai, Said bin Abi Arubah, Abdul Warits –dan menyebut nama-nama lain- berkeyakinan seperti itu, mereka tsiqoh, boleh ditulis hadits mereka sepanjang mereka tidak menjadi dainya.
Adz Dzahabi juga menyampaikan penilaiannya kepada salah seorang perawi: Aban bin Taghlib Al Kufi orang syiah tulen tapi dia shoduq (benar dan jujur dalam periwayatannya), kejujurannya untuk kita dan dosa bid’ahnya untuk dia.
Tapi syarat dai atau bukan dai bid’ah pun diragukan dengan apa yang dilakukan Imam Bukhari dalam Mutaba’ah di kitab Shahihnya. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Ikhtishor ‘Ulum Al Hadits menjelaskan: Al Bukhari mengeluarkan riwayat Imron bin Hiththon, seorang khowarij yang memuji Abdurrahman bin Muljam pembunuh Ali radhiallahu anhu dan dia ini salah seorang dai terbesar dalam keyakinan khowarij.
Lebih dari itu, Imron bin Hiththon diambil riwayatnya oleh Yahya bin Abi Katsir (sebagaimana yang dicantumkan oleh Al Bukhari) di Yamamah saat Imron melarikan diri dari Hajjaj bin Yusuf yang mengejarnya untuk membunuhnya karena Imron adalah dainya khowarij. (Lihat Hadyus Sari, Ibnu Hajar)
Dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan perlu dicermati bid’ah yang dibahas di atas bukan sekadar bid’ah ibadah, tapi sudah bid’ah aqidah. Tapi segitu obyektifnya para ulama hadits!!
Saya juga tahu –jangan salah paham- bahwa ilmu diawali dari belajar dari seorang ahli ilmu. Tetapi jika telah mengaji sekian lama, ilmu pun sudah mampu menjadi penyaring. Teladanilah para ahli ilmu yang mengambil riwayat dan ilmu mereka bahkan dari ahli bid’ah.
Begitulah…
Siapapun yang pernah berlama-lama dalam ilmu hadits seharusnya mengalir deras dalam dirinya ruh ini. Seimbangkan kedua hal di atas.
Jadi, mengapa menyempitkan ilmu hanya di lingkaran orang-orang tertentu. Mengapa membatasi gerak murid-murid kita yang telah kuat ilmunya untuk duduk di majlis ahli ilmu hanya gara-gara ahli ilmu itu distempel ahli bid’ah. Yang bid’ahnya bukan dalam masalah aqidah atau bahkan memang bukan bid’ah tapi hanya perbedaan fikih biasa.
Saya semakin paham yang menyempitkan sesuatu yang luas adalah taqlid buta dan fanatisme golongan.
Padahal ulama hadits begitu obyektifnya.
Begitulah hari-hari kami bersama para masyayikh di ilmu hadits. Hafidzohumulloh……
(*Arrahmah.com)