ALMATY (Arrahmah.com) – Seorang wanita etnis Uighur yang tahun lalu membeberkan penyiksaan dan pelanggaran lainnya di sebuah kamp interniran di wilayah Xinjiang lolos dari serangan pada pekan lalu yang hampir membakar rumahnya di Kazakhstan.
Berbicara kepada kantor berita RFA, Tursunay Ziyawudun mengatakan bahwa setelah suaminya membangunkannya dengan sebuah teriakan rumah mereka terbakar, mereka menemukan bahwa pintu rumah mereka telah diikat rapat, seakan mencegah agar mereka tidak bisa melarikan diri.
Adik perempuan suaminya dan keponakannya yang berusia 10 tahun juga berada di rumah yang terletak di daerah Chilek di luar kota Kazakh, Almaty, katanya.
“Kami terus mendorong, tetapi tidak bisa membukanya,” kata Tursunay. “Kami menelepon pemadam kebakaran dan berusaha menggunakan pisau untuk memotong tali dan berhasil keluar pada saat petugas pemadam kebakaran tiba.”
Dia bertanya-tanya, apakah ini kejadian ini merupakan rencana untuk membakar mereka hingga tewas?
Serangan yang terjadi pada 14 Februari tersebut menghancurkan gudang dan hampir melahap seluruh rumah mereka.
Sebelumnya, serangkaian panggilan telepon yang berisi ancaman dan sebuah insiden di mana suami Tursunay, Halmirza Haliq didekati oleh orang asing yang memperingatkannya untuk “tetap diam.”
“Waktu itu hari Jumat, ketika aku kembali dari masjid setelah melaksanakan shalat Jumat, seseorang dari Cina tiba-tiba mendatangiku dan memberitahuku bahwa Tursunay dan aku harus diam,” ungkap Halmirza.
“Kekhawatiran saya sekarang adalah bahwa ini adalah bagian dari komplotan melawan saya,” kata Tursunay.
“Saya merasa diserang, seperti hal-hal yang sangat berbahaya bagiku di sini. Apa yang akan saya lakukan?” imbuhnya.
Berbicara kepada RFA, aktivis HAM Kazakh Serikzhan Bilash, yang kelompok Atajurt-nya telah membantu Tursunay menerbitkan laporan kehidupannya di kamp-kamp Tiongkok setelah ia melarikan diri ke Kazakhstan pada bulan September lalu, mengatakan bahwa polisi Kazakh telah menggerebek kantornya pada 17 Februari, tiga hari setelah insiden kebakaran tersebut.
“Mereka menunjukkan kepada kami surat-surat mereka. Mereka dari polisi Almaty,” katanya, sambil menambahkan, “Mereka menurunkan semua spanduk dan barang-barang lainnya yang tergantung di dinding kami, dan mereka mengambil semua buku catatan dan registrasi kami.”
“Seorang polisi mengatakan kepada kami bahwa kami telah mengadakan pertemuan ilegal, tetapi kami menjelaskan bahwa kami hanya membantu orang-orang yang telah ditahan di Tiongkok. Kemudian mereka mengatakan bahwa kami secara ilegal menggunakan logo yang terdaftar di pemerintah, tetapi kami memberi tahu mereka bahwa logo kami berbeda,” ujar Bilash.
“Pokoknya, mereka hanya membuat alasan. Mereka ingin menghentikan pekerjaan kami,” pungkasnya.
Tursunay Ziyawudun ditahan tanpa alasan yang jelas selama sembilan bulan di salah satu jaringan kamp Tiongkok yang luas. Awalnya ia ditahan pada 11 April 2017 dan dibebaskan setelah sebulan mendekam di dalam sel karena kesehatan yang buruk, tetapi ditahan lagi setahun kemudian setelah ia tidak dapat memperoleh paspor untuk tinggal bersama dengan suaminya di Kazakhstan.
Ia mengatakan kepada RFA dalam wawancara pada Oktober 2019 lalu, bahwa kondisi di fasilitas penahanan jauh lebih buruk dari pertama kali ia ditahan, dan banyak puluhan wanita yang tinggal bersama dalam satu sel mendapat perlakuan buruk, termasuk penganiayaan fisik dan sterilisasi paksa.
“Kami semua diborgol dan dibelenggu dan sering dipanggil untuk diinterogasi,” kata Tursunay.
“Aku masih bisa mendengar teriakan, memohon, dan menangis di kepalaku,” imbuhnya dalam wawancara tersebut. (rafa/arrahmah.com)