JAKARTA (Arrahmah.com) – Setidaknya ada dua isu penting yang harus direspon oleh Polri dan BNPT terkait kasus terorisme, yaitu penjelasan Polri yang terkesan paradoks, saling bertolak belakang antara pernyataan dan fakta di lapangan.
Di satu sisi para teroris itu sering digambarkan sebagai kelompok terlatih dan canggih karena kemampuannya untuk terus hidup dan melancarkan aksinya, termasuk kemampuan merakit bom dan memasok senjata dari luar negeri.
“Tapi, disisi lain, Polri mengungkap fakta berbeda tentang lugunya kelompok teroris ini. Misalnya, untuk kelompok teroris sekelas Dayat CS yang ditembak mati di Ciputat, dengan lugunya masih meninggalkan jejak dengan terungkapnya sejumlah dokumen rencana pemboman di sejumlah tempat. Termasuk, selalu meninggalkannya jejak buku panduan jihad,” kata Peneliti Senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Toto Izul Fatah di Jakarta, lansir Antara Selasa (7/1/2014).
Dia juga mempertanyakan, penjelasan Polri yang juga paradoks dalam konteks sasaran aksi para teroris. Di satu sisi, Polri selalu menggambarkan kehebatan dan keterlatihan mereka itu dengan mentalnya yang sudah siap mati, sehingga perlu ditembak. Tapi, disisi yang lain, sasaran aksi mereka seperti menggambarkan keluguannya.
Sebelumnya, ada analisa dari pengamat intelejen Umar Abduh, bahwa operasi tembak mati Densus 88 terhadap enam Muslim yang dituduh polisi sebagai teroris di Jl. H. Hasan Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (31/12/2013) merupakan rekayasa Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman.
Menurutnya, banyak pihak berharap di era Kapolri Sutarman, proyek “antiteroris” oleh Polri bisa diakhiri. Masyarakat juga berusaha berpartisipasi agar terduga teroris bisa menyerahkan diri atau ditangkap dalam keadaan selamat.
“Dua minggu sebelum Sutarman dilantik menjadi Kapolri, sudah ada partisipasi dari pihak masyarakat yang berniat membantu menyelesaikan kelompok Oji dan Nurul Haq agar bisa menyerah atau ditangkap dalam keadaan selamat,” ungkap Umar, seperti ditulis intelejen.co, Ahad (5/1/2014).
Akan tetapi, kata Umar, upaya partisipasi masyarakat tersebut ditolak di tingkat pengambil kebijakan, baik wilayah Polda maupun Bareskrim Mabes Polri dan Densus 88.
Dia menegaskan, bahwa Kapolri Sutarman lebih mengikuti “alur” keinginan Densus 88. Dan bahkan, bisa jadi Sutarman mengikuti perintah pihak “yang dipercaya atau disegani”. (azm/arrahmah.com)