LONDON (Arrahmah.com) – Pengadilan Islami sesaat lagi akan dipaksa untuk mengakui keunggulan hukum Inggris di bawah usulan yang saat ini sedang digodog di parlemen, Guardian melansir, Kamis (9/6/2011).
RUU, yang diusulkan oleh Lady Cox dan didukung oleh kelompok-kelompok ‘pembela hak-hak perempuan’ serta Komunitas Sekular Nasional, dibuat karena “keprihatinan yang mendalam” bahwa perempuan Muslim menderita diskriminasi dalam dewan hukum Syariah.
RUU layanan serta mediasi kesetaraan gender ini menilai siapapun yang menggunakan hukum Syariah atas keluarga maupun terhadap komunitas, dikategorikan sebagai tindakan pidana serta akan dijerat dengan hukuman penjara selama lima tahun.
RUU, yang akan berlaku untuk semua pengadilan jika disahkan, bertujuan untuk mengatasi diskriminasi dengan melarang praktek Syariah yang menyatakan bahwa kesaksian perempuan hanya separuh lebih berat dari laki-laki.
Cox mengatakan: “Kesetaraan di bawah hukum adalah nilai inti dari keadilan Inggris. Dan saya berusaha untuk mempertahankan standar itu.”
Mirip dengan aturan Yahudi Beth Din, di bawah UU Kewenangan Hukum tahun 1996, peradilan Syariah dapat membuat putusan dalam kasus yang melibatkan isu-isu keuangan dan properti.
Cox merasa khawatir bahwa peradilan tersebut akan menggantikan hukum yang diberlakukan di Inggris mengingat dua tahun lalu, 85 pengadilan yang dianggap sebagai pengadilan Syariah yang beroperasi di Birmingham, London, Bradford, dan Manchester, dinilai telah melampau batas-batas yurisdiksi mereka dan secara teratur memberikan nasihat ilegal terhadap perkawinan dan perceraian.
Cox mengatakan mereka semakin berkuasa pada kasus-kasus keluarga dan kriminal, termasuk hak asuh anak dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang dinilai Cox akan telah melemparkan perempuan pada penderitaan untuk menaati suaminya yang berlaku kasar, atau keharusan untuk menyerahkan anak-anak dan propertinya.
Diana Nammi, dari Organisasi Hak Perempuan Iran dan Kurdi, mengatakan: “Perempuan dan anak-anak adalah anggota masyarakat yang sangat rentan dan berdasarkan hukum syariah mereka menjadi tak terlihat. Perempuan dan anak adalah golongan masyarakat yang paling rentan di mana agama, tradisi, dan budaya telah membuat golongan ini harus menjadi pihak yang memperoleh pengutamaan hak asasi manusia dan hak-hak perempuan yang dilindungi di bawah hukum sipil, hukum Inggris.”
Cox merasa sudah memiliki cukup bukti bahwa dalam beberapa kasus perempuan dibawa ke Inggris, kurang bisa berbahasa Inggris, dan memperoleh akses sempit terhadap hak-hak hukum. Mereka menderita kekerasan dalam rumah tangga atau akses menuju perceraian, karena keputusan yang dibuat sangat diskriminatif, lanjut Cox.
“Kami tidak bisa terus membiarkan situasi ini. Banyak perempuan berkata, ‘Kami datang ke negara ini untuk menghindari praktek-praktek ini, namun nyatanya kami menemukan situasi yang lebih buruk'”
Sementara itu, Porteous Keith Wood, direktur eksekutif Komunitas Sekular Nasional, mengatakan: “Hukum tidak boleh menghalangi kebebasan beragama, dan tidak seharusnya pengadilan memutuskan pada hal-hal teologis. Persamaan hanya akan bisa diperoleh dari hukum manusia, bukan agama.” (althaf/arrahmah.com)