Oleh: Kholila Ulin Ni’ma, Dosen Tetap STAI al-Fattah Pacitan
(Arrahmah.com) – Sebuah negara tentu membutuhkan pembiayaan besar untuk menyelenggarakan urusan negara. Apalagi Negara Indonesia yang statusnya masih sebagai negara berkembang, tentu membutuhkan anggaran belanja yang besar untuk berbagai kegiatan penting dan rutin lainnya. Baik kegiatan rutin pemerintahan, politik, ekonomi, pertahanan, pendidikan, kesehatan, subsidi, pembangunan sarana dan prasarana, infrastruktur dan lain-lain melalui kementerian, badan dan lembaga negara.
Indonesia yang memiliki hasil sumber daya alam melimpah ruah seharusnya dengan mudah memenuhi keperluan belanja negara ini. Namun faktanya, melimpah ruahnya SDA ini tidak berbanding lurus dengan tercukupinya APBN Indonesia. Hingga saat ini pengeluaran belanja melebihi besaran pendapatan negara sehingga ‘memaksa’ pemerintah untuk mencari solusinya. Sebagaimana kita ketahui, selama ini yang menjadi andalan sumber pemasukan utama APBN di negeri ini ada dua. Yaitu (1)utang ribawi, (2)pajak.
Terperangkap dalam jeratan utang
Tradisi utang bangsa Indonesia telah ada sejak Indonesia merdeka. Pemerintah Soekarno telah berutang US$ 6,3 miliar yang terdiri dari US$ 4 miliar merupakan warisan utang Hindia Belanda dan sisanya sebesar US$ 2,3 miliar sebagai utang baru (Republika, 17/4/2006). Meskipun Presiden Soekarno telah mengingatkan bahwa bantuan utang luar negeri akan mengurangi kedaulatan negara dengan slogan ‘Go to hell with your aid’, namun utang ttetap dijalankan. Memasuki pemerintahan Orba, keran asing dibuka, terlebih saat badai krisis moneter yang menimpa Asia Tenggara pada tahun 1997, IMF tetap dijadikan dewa penyelamat dengan ditanda-tanganinya Letter of Intent (ILO) pertama pada tanggal 31 Oktober 1997 yang berisikan perjanjian 3 tahun dengan kucuran utang sebesar US$ 7,3 miliar. Namun, pemerintahan Orba pun berakhir menyedihkan, alih-alih menyelamatkan perekonomian, kehadiran IMF justru memperparah perekonomian Indonesia. Pengangguran meningkat, nilai tukar rupiah terus merosot tajam. Hingga pada tahun 1998, krisis moneter melanda Indonesia dan mengakibatkan lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Tragis!
Utang ribawi, bahkan dengan bunga yang sangat tinggi, sudah puluhan tahun menjadi sumber pemasukan utama APBN di negeri ini. Dalam 6 tahun terakhir saja (2010-2016) utang Indonesia bukan berkurang, tetapi bertambah rata-rata pertahun sebesar 13,5% (Kemenkeu.go.id).Pada tahun 2016 ini, khusus untuk utang luar negeri, menurut Bank Indonesia (BI) hingga Triwulan II tahun ini utang Indonesia mencapai Rp 4.281 triliun (Tempo.co, 23/8).
Tahun ini pula Pemerintah harus membayar cicilan bunga utang sebesar Rp 191,2 triliun, sementara tahun depan cicilan bunga yang harus dibayarkan Pemerintah mencapai Rp 221,4 triliun (Detik.com, 18/8). Itu berarti, rata-rata cicilan bunga utang Indonesia selama 2016-2017 adalah sekitar Rp 200 triliun pertahun! Ingat, itu baru cicilan bunganya, belum cicilan pokoknya.Untuk membayar cicilan bunga utang (yang cukup besar) inipun, tak jarang Indonesia harus kembali berutang.
Padahal jelas, utang ribawi termasuk dosa besar. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275, Allah SWT secara tegas telah mengharamkan riba. Bahkan Allah SWT pun tegas menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ – فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kalian benar-benar kaum Mukmin. Jika kalian tidak melakukan itu (meninggalkan riba), berarti kalian telah memaklumkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya (QS al-Baqarah [2]: 278-279).
Baginda Rasulullah juga tegas menyatakan:
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةً
Satu dirham riba yang dinikmati seseorang, sementara dia tahu, adalah lebih besar (dosanya) daripada 36 kali zina (HR ad-Daruquthni, ath-Thabrani dan al-Haitsami).
Zina adalah dosa besar. Pelakunya layak dihukum cambuk 100 kali atau dirajam sampai mati. Namun, riba ternyata jauh lebih besar dosanya daripada zina. Jika satu dirham (sekitar Rp 60 ribu) harta riba dosanya lebih besar daripada 36 kali zina, tentu tak terbayangkan dosa dari harta riba yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan triliun rupiah.
Selain itu, bunga cicilan utang Indonesia yang rata-rata pertahun Rp 200 triliun itu sesungguhnya menjadi beban berat bagi negara. Pasalnya, jika dibanding-bandingkan dengan alokasi Belanja Pemerintah Pusat, uang Rp 200 triliun itu sangatlah besar. Uang Rp 200 triliun itu sama dengan: 1,5 kali lipat anggaran pendidikan yang hanya Rp 150,1 triliun; 3 kali lipat anggaran kesehatan yang hanya Rp 67,2 triliun; 2 kali lipat anggaran pertahanan yang hanya Rp 99,6 triliun; 5 kali lipat anggaran perumahan dan fasilitas umum yang hanya 34,7 triliun; 4 kali lipat alokasi dana desa (untuk sekitar 74 ribu desa) yang hanya Rp 47 trilun; 3 kali lipat subsidi BBM yang hanya Rp 65,7 triliun; 5 kali lipat subsidi listrik yang hanya Rp 38,4 triliun; dan 10 kali lipat subsidi pangan yang hanya Rp 21,0 triliun.
Uang Rp 200 triliun itu juga sama dengan 8 kali lipat anggaran Pemerintah Pusat untuk mensubsidi 92,4 juta jiwa peserta PBI jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang hanya Rp 25,5 triliun (Cnnindonesia.com, 16/03/16).
Dengan membandingkan jumlah cicilan bunga utang di atas yang rata-rata berkali-kali lipat dibandingkan dengan masing-masing pos anggaran untuk kepentingan publik, jelas cicilan bunga utang tersebut menjadi beban negara setiap tahunnya. Anehnya, saat pemasukan APBN tidak sesuai target, Pemerintah tidak berusaha mengurangi atau menunda pembayaran cicilan utang, apalagi berani menolak membayar cicilan bunganya yang jelas-jelas termasuk riba (haram). Yang justru dikurangi atau dipangkas oleh Pemerintah adalah pos-pos anggaran yang berhubungan langsung dengan kepentinghan rakyat, misalnya pendidikan. Tentu akhirnya beban negara ini menjadi derita bagi rakyat.
Rakyat dipalak dengan pajak
Selain utang, yang paling menjadi andalan pemasukan APBN setiap tahunnya adalah pajak. Pajak bahkan menjadi satu-satunya sumber pemasukan terbesar dalam APBN kita selama puluhan tahun. Pada tahun 2016 ini, dalam APBN 2016 pemasukan dari pajak ditargetkan sebesar 75% dari total pemasukan APBN atau sekitar Rp 1.360,2 triliun. Jumlah sebesar itu belum termasuk target pemasukan dari kepabeanan dan cukai sebesar 10% atau sekitar Rp 186,5 triliun. Jika keduanya digabung, praktis penerimaan dari perpajakan adalah 85%-nya dari semua penerimaan APBN. Pajak, bea dan cukai tentu sebagiannya berasal dari uang rakyat. Ironisnya, pemasukan APBN yang berasal dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) hanya ditargetkan 15% atau sebesar Rp 273,8 triliun saja. Dari jumlah sebesar itu, penerimaan dari migas (minyak dan gas) hanya Rp 78,6 triliun (Kemenkeu.go.id).Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017, penerimaan negara ditargetkan sebesar Rp 1.737,6 triliun. Pajak non migas menjadi mayoritas, dengan target sebesar Rp 1.271,7 triliun. Negara kejar setoran, rakyat jadi korban pendzoliman Negara. (detik.com, 1/10/2016)
Fakta di atas membuktikan bahwa selama ini APBN tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada para pemilik modal, terutama pihak asing. Apalagi subsidi untuk rakyat terus dikurangi, sementara beban pajak atas rakyat makin ditambah. Derita rakyat pun semakin bertambah dengandiberlakukannya UU Tax Amnesty, yang ternyata disinyalir akan menyasar juga rakyat kebanyakan. Padahal selama ini pun mereka telah terbebani oleh berbagai pungutan pajak yang amat memberatkan. Terkait itu, Rasulullah sawtelah bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْتَرْعَى رَعِيَّةً يَمُوْتُ حَيْنَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seseorang diangkat untuk mengurus rakyat, lalu mati, sementara ia menipu (menzalimi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari).
Pentingnya mengelola negara dengan syariah
Negeri Indonesia sangat kaya dengan sumberdaya alamnya. Namun anehnya, sumber pemasukan utama APBN kita bukan dari hasil-hasil kekayaan alam yang berlimpah-ruah tersebut, tetapi justru dari pajak yang sebagian besarnya dipungut dari rakyat dan juga dari utang ribawi. Pertanyaannya: Lalu kemana uang hasil dari berbagai sumberdaya alam milik rakyat itu? Tidak lain, sebagian besarnya masuk ke pihak swasta, khususnya pihak asing. Mengapa? Karena memang sebagain besar sumberdaya alam milik rakyat itu sudah lama berada dalam genggaman pihak swasta terutama pihak asing. Menurut Data Litbang Kompas, hingga tahun 2011 saja asing telah menguasai: 70% tambang migas; 75% batubara, bauksit, nikel dan timah;’ 85% tembaga dan emas; dan 40% perkebunan sawit dari total 8,5 juta hektar. Menurut Kompas (25/5/2011) pula, dengan penerapan otonomi daerah yang cenderung liberal, hingga tahun 2011 saja sudah ada 8.000 izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kondisi itu makin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumberdaya batubara dan mineral.
Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber keayaan alam milik umat jelas haram karena bertentangan dengan nash-nash syariah, antara lain sabda Nabi saw.:
اَلنَّاسُ شُرَكَاءٌ فِي ثَلاَثَةٍ :اَلْمَاءِ وَالْكَلأِ وَالنَّارِ
Umat manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang gembalaan dan api (HR Ibn Majah).
Jelas, dari secuil paparan di atas, semakin penting untuk mengatur negara ini dengan syariah Islam, termasuk dalam pengaturan ekonomi dan keuangan negara. Tentu amat penting pula kaum Muslim segara mewujudkan institusi penegaknya, yakni Khilafah Islam, yang memang merupakan satu-satunya institusi yang bisa menegakkan syariah Islam di tengah-tengah manusia. Hanya dengan penegakkan syariahlah—yang sekaligus merupakan wujud ketakwaan kita kepada Allah SWT—kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Hanya dengan ketakwaan kepada-Nya kaum Muslim akan menuai keberkahan-Nya, dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (Kami) sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan itu (QS al-A’raf [7]: 96).
Allahu a’lam bish shawaab
(*/arrahmah.com)