RABAT (Arrahmah.id) – Saat warga Maroko bersiap untuk menyemangati tim nasional mereka di Piala Dunia 2022 Qatar, mengenakan jersey tim tetap menjadi keputusan kontroversial karena hubungan si pembuat jersey Puma dengan “Israel”.
“Kami mencintai sepak bola, tetapi kami membenci apartheid,” tulis BDS Maroko, cabang lokal dari gerakan Boycott, Divestment and Sanctions yang dipimpin Palestina, dalam sebuah video yang mendesak para penggemar Maroko untuk memboikot seragam Puma yang baru.
Menjelang Piala Dunia, Qatari Youth Against Normalisation (QAYON) dan Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) menyerukan untuk memboikot perusahaan pakaian olahraga Jerman Puma atas sponsornya dari Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA).
IFA, seperti yang didokumentasikan oleh Human Rights Watch, termasuk klub sepak bola yang berbasis di permukiman ilegal “Israel” di tanah Palestina yang diduduki.
“Pemegang lisensi eksklusif Puma saat ini dan sebelumnya di “Israel” beroperasi di permukiman ilegal “Israel”,” kata BDS dalam siaran pers.
BDS pertama kali meluncurkan kampanye pada 2018 untuk menekan tim olahraga internasional agar memutuskan hubungan dengan Puma.
Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye yang dipimpin Palestina berhasil memaksa Qatar Sports Club untuk tidak memperpanjang kontraknya dengan Puma, dan British Chester FC untuk tidak mengontrak perusahaan pakaian olahraga tersebut.
Di Piala Dunia Qatar, enam tim akan menggunakan merek kontroversial tersebut, yaitu Maroko, Ghana, Serbia, Senegal, Swiss, dan Uruguay.
Sedangkan tim sepak bola Arab Saudi dan Qatar disponsori oleh perusahaan multinasional Amerika Nike. Tim Tunisia telah mengontrak Kappa Italia.
Menanggapi kampanye tersebut, warga Maroko memiliki pandangan yang beragam, antara yang menanggapi seruan boikot dan yang lainnya menolak mengorbankan ‘kesenangan sepak bola’ untuk dilema politik.
“Saya tidak tahu itu sebenarnya sebelum saya membelinya. Tapi sejujurnya, tidak ada merek yang bersih secara moral. Saya hanya berusaha bahagia di sini untuk tim saya dan memiliki suasana yang baik dengan teman dan keluarga saya,” kata Ibrahim, pria Maroko berusia 46 tahun kepada The New Arab.
Pada 2019, sebuah laporan mengatakan Nike tidak dapat menunjukkan bukti upah layak dibayarkan kepada pekerja mana pun. Setahun kemudian, Washington Post mengatakan bahwa perusahaan pakaian olahraga tersebut membeli dari sebuah pabrik yang mengandalkan kerja paksa dari Uyghur.
“Sejujurnya, saya pikir ini adalah percakapan elitis. Banyak penggemar berat Maroko yang tidak mampu membeli jersey tersebut, termasuk saya. Kami memakai tiruan atau kami hanya memegang bendera nasional kami yang benar-benar mewakili kami,” kata Yassine (23), seorang mahasiswa Maroko kepada TNA.
Di negara di mana pendapatan bulanan rata-rata kurang dari US$200 (sebesar 1.793 MAD), tidak membelanjakan US$ 100 untuk membeli jersey tetap menjadi keputusan finansial lebih dari keputusan ideologis bagi banyak penggemar. (zarahamala/arrahmah.id)