Oleh Lafifah
Aktivis Muslimah
Seperti ombak, ketika riak ombak sedang, maka nelayan akan menjalankan perahunya untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Begitulah kiranya penguasa negeri ini menjalankan kebijakannya di tengah masyarakat. Tidak peduli masyarakat tertekan,terbanting, yang penting riak penolakannya biasa saja, maka akan terus melaksanakan aksinya.
Malangnya nasib rakyat negeri ini jelang hari kemerdekaan bangsanya diberikan kado dengan kenaikan harga BBM nonsubsidi. PT Pertamina (Persero) telah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) umum dalam rangka mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (Pertamina, 9-8-2024).
Harga BBM RON 92 atau Pertamax resmi naik di seluruh SPBU Pertamina pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Kenaikan ini mengikuti produk BBM nonsubsidi lainnya seperti Pertamax Turbo, Pertamax Green 95, dan Dex Series yang telah naik pada awal Agustus lalu. Harga Pertamax naik Rp750 menjadi Rp13.700 per liter (untuk wilayah dengan PBBKB 5%) dari sebelumnya Rp12.950 per liter.
Kenaikan harga BBM pasti berdampak pada kenaikan harga barang-barang dan selanjutnya mengerek laju inflasi, sedangkan rakyat hanya bisa pasrah. Rakyat berada pada posisi sebagai konsumen yang mau tidak mau harus membeli BBM demi kebutuhan usaha dan transportasi sehari-hari. Meski naik, rakyat akan tetap membeli BBM karena tidak ada opsi lain.
Kenaikan BBM pada bulan kemerdekaan Indonesia (Agustus) ini menjadi sebuah ironi. Betapa kita belum merdeka secara hakiki karena untuk urusan kebutuhan pokok, yaitu BBM, Indonesia yang kaya sumber daya minyak bumi ternyata sama saja dengan SPBU swasta yang menjual BBM dengan harga mahal. Pertamina sendiri pun tidak selayaknya bangga karena merasa harga Pertamax paling “murah”
Kenaikan BBM bukanlah kejadian spontan, tetapi sudah direncanakan dan bahkan merupakan amanat undang-undang. UU Migas (UU 22/2001) telah membuka pintu bagi perusahaan asing untuk mengeksploitasi migas di Indonesia secara besar-besaran, termasuk menguasai perdagangan minyak dan gas di sektor hilir.
Demi investasi asing, harga BBM di Indonesia harus “kompetitif” alias sama dengan harga pasar dunia. Namun, naiknya harga BBM tidak dilakukan seketika. Prosesnya bertahap hingga akhirnya tidak ada lagi perbedaan antara harga BBM di SPBU Pertamina dan swasta. Yang berlaku seterusnya adalah harga pasar.
Inilah wajah asli kapitalisme. Negara tidak berfungsi sebagai ra’in (pengurus) rakyatnya, tetapi sebagai regulator yang hanya membuat regulasi. Berhubung regulasi tersebut dibuat oleh manusia, maka ia didesain untuk menguntungkan para penguasa dan kroni-kroninya. Regulasi tersebut tidak bertujuan mewujudkan kemaslahatan rakyat. Walhasil, liberalisasi migas secara legal tampak secara kasat mata.
Satu-satunya pihak yang diuntungkan dari kenaikan BBM adalah para kapitalis yang mengelola migas dari hulu hingga hilir. Mereka sudah mendapatkan tambang secara gratis, mereka juga mendapatkan izin untuk menjualnya dengan mahal sesuai harga pasar internasional. Betapa keuntungan yang mereka dapatkan menjadi berlipat. Sedangkan rakyat sang pemilik sejati sumber daya tambang itu hanya bisa gigit jari.
Demikianlah jahatnya kapitalisme dalam pengelolaan migas sehingga hanya menguntungkan segelintir kapitalis dan penguasa, sedangkan rakyat berkubang dalam nestapa. Sudahlah tambang migas melayang dari genggaman, rakyat diperas pula untuk membayar mahal agar bisa memperoleh BBM. Sungguh, bertubi-tubi kezaliman yang rakyat terima.
Sebenarnya, dengan pengelolaan yang benar, Indonesia akan mampu menyediakan BBM murah bagi rakyat. Saat ini Indonesia mengalami defisit minyak karena produksi hanya 600 ribu barel per hari, sedangkan permintaan (konsumsi) mencapai 1.600 ribu barel per hari. Produksi dan cadangan minyak di Indonesia memang menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tetapi cadangan yang belum tereksplorasi masih besar.
Cadangan minyak terbukti di Indonesia sebesar 2,4 miliar barel pada akhir tahun 2020. Pada 2023 Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan hanya bertahan sekitar 9 hingga 10 tahun sehingga investasi eksplorasi sangat diperlukan. Indonesia memiliki 128 cekungan minyak dan hanya 60 cekungan yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi. Masih ada 68 cekungan yang belum dieksplorasi, tetapi butuh investasi untuk eksplorasi karena terletak di perairan dalam.
Solusi satu-satunya atas masalah ini adalah mewujudkan pengaturan Islam terhadap minyak bumi. Di dalam konsep Islam, negara adalah ra’in (pengurus rakyat) berdasarkan hadis, “Penguasa yang memimpin rakyat banyak adalah ra’in (pengurus) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Wujud dari konsep penguasa sebagai ra’in adalah negara (khilafah) akan menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan pokok rakyat, termasuk BBM. Negara mewujudkan jaminan itu dengan penerapan politik ekonomi Islam. Negara adalah satu-satunya pihak yang mendapatkan amanat untuk mengelola kekayaan alam milik rakyat untuk kesejahteraan rakyat. Keputusan apa pun terkait BBM haruslah mewujudkan kemaslahatan rakyat, tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak, apalagi sampai menzalimi rakyat.
Minyak bumi merupakan harta milik umum berdasarkan hadis, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).
Tambang minyak yang selanjutnya diolah menjadi BBM terkategori harta milik umum karena seperti “api” yang disebut dalam hadis tersebut.
Syekh Abdul Qadim Zallum, di dalam Kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah menjelaskan, “Barang tambang yang depositnya besar, baik yang ditambang terbuka (seperti garam dan batubara) ataupun tertutup (seperti minyak gas, emas, dan besi) dan peralatan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dapat dikategorikan milik umum atau milik negara.”
Industri minyak juga terkategori milik umum. Status industri dilihat status produksinya. Jika yang diproduksi termasuk milik umum, industri itu termasuk milik umum. Sebagaimana harta milik umum yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu (swasta), industri yang termasuk milik umum haram dimiliki atau dikuasai oleh individu (swasta) dan juga haram dikuasakan kepada individu (swasta).
Negara akan turun tangan langsung mendirikan dan menjalankan industri yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dari perut bumi. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan itu pada swasta, baik lokal maupun asing. Jika butuh tenaga ahli yang belum tersedia di dalam negeri, negara bisa mempekerjakan tenaga asing dengan batas waktu tertentu (tidak selamanya). Selain melakukan pekerjaan sesuai keahliannya, tenaga ahli tersebut harus mentransfer keahliannya pada SDM lokal sehingga ke depannya kita bisa mandiri, tidak perlu mendatangkan tenaga kerja asing.
Dengan pengaturan minyak sesuai syariat, negara tidak akan menjadikan minyak sebagai komoditas yang dijual ke rakyat untuk memperoleh keuntungan. Negara akan menetapkan harga BBM semurah mungkin, sebatas biaya produksi dan distribusi, tanpa mengambil keuntungan sama sekali. Dengan demikian, semua rakyat bisa mengakses BBM dengan harga terjangkau. Tidak ada pembatasan bagi warga yang mendapatkan BBM murah, semua rakyat bisa mendapatkannya, baik ia miskin ataupun kaya.
Wallahua’lam bis shawwab