Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
BBM adalah satu di antara kebutuhan vital masyarakat. Produksinya, keberlangsungannya, hingga keterjangkauan akses ke tangan rakyat tentu menjadi perkara yang butuh diupayakan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, Pertamax sebagai perusahaan pelat merah melalui Direktur Utamanya, Nicke Widyawati menyebutkan pada bulan Juni 2023 ini siap meluncurkan produk teranyar berlabel BBM bioetanol (mixing Pertalite dan etanol bahan alami dari tetes tebu). (jambiekspres.co.id, 11/6/2023)
Peluncuran BBM Bioetanol itu sebagai kelanjutan dari apa yang diprogramkan Presiden Joko Widodo 4 November 2022 lalu. Saat itu Presiden menyampaikan di depan publik bahwa bensin yang dicampur dengan etanol berbasis tebu akan diproduksi. Hal ini akan menjadi bagian dari deretan aksi demi didapatnya energi baru terbarukan.
Manfaat Produksi BBM Bioetanol
Produksi BBM bioetanol diyakini solutif bagi problem tekanan impor BBM yang selama ini memberatkan neraca perdagangan negara. Jenis BBM ini pun digadang-gadang akan mengulang kesuksesan produksi Biodiesel B30 (mixing solar dengan minyak sawit) -pendahulunya- yang mampu menurunkan larinya devisa ke luar negeri sebanyak US$2,6 miliar.
Campuran antara Pertamax dengan 30 persen etanol yang berasal dari bahan alami ini disebut-sebut bisa menurunkan permasalahan polusi emisi kendaraan. Percampuran antara pertamax dengan nabati etanol itu mampu meningkatkan kualitas RON BBM bioetanol yang dihasilkan akan setara dengan Pertamax. Berikutnya bahwa lapangan kerja bakal terbuka lebar bagi masyarakat di sektor pertanian dan industri bioetanol. Dan masih banyak lagi manfaat yang dinarasikan dapat diraih dengan diproduksinya BBM bioetanol.
Untuk Rakyatkah?
Program ini tak luput dari tantangan dan kendala. Satu di antaranya adalah dari sisi harga produk yang dihasilkan lebih tinggi dibanding Pertamax.
Yang menjadi pertanyaan, jika pada akhirnya harga dari bensin tersebut justru lebih mahal, lantas untuk siapa program tersebut diluncurkan? Kita tentu ingat dengan harga BBM yang telah ada saat ini pun, rakyat demikian terbebani. Masih lekat dalam ingatan di saat beberapa kali pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM, rakyat demikian terguncangnya. Demo penolakan terjadi di mana-mana. Tak sedikit dari pengamat kebijakan publik pun mempertanyakan terkait hal tersebut. Namun pada kenyataannya, negara bersikukuh dengan keputusannya dan harga baru yang demikian membebani pun diterima masyarakat dengan penuh keterpaksaan.
Kini, BBM jenis baru akan launching dengan harga yang lebih tinggi lagi?! Amboi, untuk siapakah gerangan?
Kita pun tentu butuh untuk mengkaji dari sisi mangkraknya proyek biodiesel yang berasal dari biji jarak. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, tahun 2008 negara demikian semangatnya mengenalkan satu produk energi baru terbarukan BBM solar yang di-mix dengan minyak biji jarak (Mongabay.co.id, 4/1/2022). Kurang lebih dua tahun program ini masih bejalan. Lambat laun mulai terbelit masalah, hingga pada tahun 2012 bangkrut dikarenakan kurangnya bahan baku dan harga produksi yang mahal melebihi harga jual dari diesel yang biasa beredar di masyarakat.
Program peluncuran BBN (bahan bakar nabati) untuk tujuan kemandirian energi pernah juga dibuat dengan mencampurkan BBM solar dengan minyak sawit. Proyek ini juga pada awal kemunculannya diyakini akan berhasil karena Indonesia punya lahan kebun sawit luas, begitupun teknologi pembuatannya sudah dikantongi. Hingga pada akhirnya nasibnya tak lebih baik dari pyoyek biofuel biji jarak, tersendat disebabkan tingginya biaya produksi. Bahkan dalam perjalannya program ini dikelilingi ruwetnya masalah.
Demi mempertahankan proyek biodiesel sawit agar terus berjalan, pemerintah pun menyediakan subsidi. Bagi rakyat? Bukan. Subsidi dikeluarkan untuk perusahaan atas selisih biaya produksi dengan harga jual. Dananya dari mana? Dari perusahaan juga. Perusahaan CPO (crude palm oil) yang dipungut oleh pemerintah sejumlah uang sebagai “dispensasi” atas izin ekspor minyak sawit (SPKS.co.id, 16/5/2020). Alur ini pada akhirnya berputar ibarat “lingkaran setan”. Menjadilah problem persawitan terseret pada karut-marut tersedianya stok dan kestabilan harga minyak goreng dalam negeri.
Jika mengingati itu semua, maka muncul pertanyaan berikutnya akankah program bioetanol ini berkelanjutan? Terlebih dampak selanjutnya masuk pada area potensi tersedotnya konsentrasi produksi tetes tebu untuk bioetanol beririsan dengan kebutuhan pangan rakyat di industri gula pasir.
Jika demikian, masih yakinkah program BBM bioetanol untuk kepentingan rakyat?
Penganut Kapitalisme Sekuler
Itulah yang terjadi ketika negara menganut sistem kapitalisme sekuler. Di alam kapitalisme, BBM melimpah di perut bumi lebih dibiarkan lari ke luar negeri karena pengelolaannya diserahkan ke tangan asing. Sementara untuk kebutuhan energi dalam negeri, rakyat wajib rela menebusnya dengan harga mahal. Bahkan mereka diarahkan untuk mengais-ngais sumber energi lain, tak peduli harganya akan lebih mahal dan keberlanjutan produksinya masih tak pasti.
Kapitalisme pula dengan prinsip utamanya berupa peraihan materi tampak dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara. Tak mengherankan ketika dalam penentuan kebijakan energi baru terbarukan pun, substitusi devisa negara menjadi satu goal utamanya.
Konsep kepemimpinan di sistem kapitalisme sekuler menempatkan negara lebih sebagai pembuat regulator, bukan pengurus rakyat. Sayangnya regulasi-regulasi yang dibuat sangat tampak lebih berpihak pada korporat baik lokal maupun asing.
Lantas posisi rakyat ada di mana? Urusan rakyat diserahterimakan oleh negara ke tangan swasta. Dimana rakyat ketika akan mengakses kebutuhannya, urusannya, maka wajib dibeli dengan lembaran uang yang tak sedikit. Begitupun dengan kebutuhan akan energi BBM.
Pemenuhan Kebutuhan Energi ala Islam
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh urusan kehidupan memiliki mekanisme dalam menyolusikan setiap persoalan. Dalam perkara kepemimpinan, Islam mewajibkan negara untuk mengeluarkan kebijakan yang support terhadap kebutuhan rakyat. Itu karena negara adalah sebagai raa’in (pengurus). Sebagaimana disabdakan Rasulullah saw.:
“Pemimpin itu adalah raa’in (pengurus) rakyatnya. Dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Kebutuhan akan BBM adalah salah satu urusan rakyat yang menjadi prioritas negara dalam pemenuhannya. Dalam hal ini negara akan menjadi pelaksana dan pengelola dalam proses pencarian, eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi yang berasal dari dalam bumi. Hal ini dikarenakan syarak mewasiatkan bahwa harta kekayaan alam termasuk BBM adalah almilkiyah ‘ammah (harta rakyat) yang wajib dikelola oleh negara. Hasilnya akan diserahkan sepenuhnya oleh negara dalam dua mekanisme. Bisa diberikan secara langsung dalam bentuk BBM murah, bahkan gratis. Bisa juga dibagikan dalam bentuk tidak langsung, yakni untuk membiayai urusan pendidikan, kesehatan dan keamanan rakyat.
Jika dirasa penggunaan BBM akan menimbulkan polutan dan efek negatif lainnya, maka pemerintah tak segan menggandeng para ahli di bidangnya. Dalam hal ini akan full membiayai serangkaian penelitian agar efek negatif bisa ditekan bahkan dimusnahkan jika bisa.
Dalam perkara pengembangan energi baru terbarukan, Islam tidak melarangnya. Selama pelaksanaannya difokuskan demi kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan korporat atau oligarki sebagaimana fakta miris yang biasa terjadi di alam kapitalisme.
Namun demikian, sistem kehidupan Islam yang dapat memberikan kemaslahatan yang paripurna tersebut mustahil bisa terlaksana jika tak diterapkan dalam bingkai negara. Wallahua’lam bissawab.