BANDA ACEH (Arrahmah.com) – Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh segera menjatuhkan sanksi akademik kepada Rosnida Sari, dosen di fakultas itu yang membawa sejumlah mahasiswi ke sebuah gereja di Banda Aceh. Kasus yang menarik perhatian masyarakat ini, bermula dari tulisan milik dosen dakwah itu sendiri di situs australiplus.
Kunjungan ke gereja yang menjadi bagian dari mata kuliah Studi Gender dalam Islam itu, sebagaimana ditulis Rosnida Sari, sebagai bagian dari ‘jembatan perdamaian’ dan ‘pembawa damai’ untuk agama dan budaya yang berbeda ini.
Tulisan dengan judul asli “Belajar di Australia, Dosen IAIN Ajak Mahasiswa ke Gereja di Banda Aceh” itu telah menjadi perbincangan hangat di jejaring media sosial. Beragam komentar mencuat, mulai dari yang mendukung dan tak sedikit pula yang menyesalkan tindakan dosen tersebut.
Selain itu, tulisan yang dikutip sejumlah media online di Aceh ini, juga di-share atau dibagi kembali oleh ratusan akun pengguna sosial media di dalam dan luar negeri, sehingga gaungnya meluas.
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr Abdul Rani Usman MSi, kepada Serambi Selasa (6/1) kemarin mengatakan, pihaknya telah meminta klarifikasi dari dosen bersangkutan terkait kunjungan para mahasiswinya ke salah satu gereja di Banda Aceh sebagai bagian dari perkuliahan.
“Mohon maaf kepada masyarakat Aceh yang terganggu dengan persoalan ini dalam beberapa hari terakhir. Kami segera lakukan tindakan akademik dan mengevaluasi kinerja dosen dengan mata kuliah yang diampunya tersebut,” katanya.
Ia tambahkan, tindakan dosen yang membawa mahasiswi studi ke salah satu gereja di Banda Aceh itu telah mengabaikan manajemen pengelolaan akademik di kampus Islam tersebut.
Selain itu, Rani Usman yang memberikan keterangan pers seusai memintai klarifikasi dari dosen pengampu mata kuliah Studi Gender dalam Islam itu, mengatakan Fakultas Dakwah akan mempertegas proses perizinan belajar lapangan bagi mahasiswa, terutama yang terkait dengan tempat-tempat yang dianggap sensitif bagi sosial budaya masyarakat Aceh.
Dalam kegiatan akademik, Rani Usman juga menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak rasis atau alergi dengan agama lain. Namun, dalam hal ini, menurut pria yang mahir berbahasa Mandarin ini, diperlukan pendekatan spesifik dan pendekatan akademik yang signifikan, sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat seperti yang terjadi saat ini.
“Untuk kajian akademik seperti ini, sebenarnya ada mekanismenya. Di fakultas lain, pada mata kuliah Perbandingan Agama, misalnya, malah dosennya resmi mengirim mahasiswa ke tempat tertentu. Tapi terlebih dulu dibekali dan itu kegiatan resmi akademik dan tak jadi persoalan,” ujarnya. (azm/serambiindonesia/arrahmah.com)